Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi
“raung buldozer gemuruh pohon tumbang
berpadu dengan jerit isi rimba raya
tawa kelakar badut2 serakah
tanpa HPH berbuat semaunya
Lestarikan alam hanya celoteh belaka
lestarikan alam mengapa tidak dari dulu
oh mengapa
ooh
jelas kami kecewa menatap rimba yg dulu perkasa
kini tinggal cerita pengantar lelap si buyung
bencana erosi selalu datang menghantui
tanah kering kerontang banjir datang itu pasti
isi rimba tak ada tempat berpijak lagi punah dengan sendirinya akibat rakus manusia
lestarikan hutan hanya celoteh belaka
lestarikan hutan mengapa tidak dari dulu saja..
ooh..
jelas kami kecewa mendengar gergaji tak pernah berhenti
demi kantong pribadi tak ingat rejeki generasi nanti
bencana erosi selalu datang menghantui
tanah kering kerontang banjir datang itu pasti
isi rimba tak ada tempat berpijak lagi punah dengan sendirinya akibat rakus manusia”
(Iwan Fals)
Sudah sekitar 30 tahun lagu ini ditulis. Saat itu Iwan Fals sudah melihat betapa parahnya pengrusakan hutan. Bagaimana dengan sekarang? Illegal logging mungkin istilah ini belum populer pada tahun 80an, sekarang bukan hanya populer tapi bahkan sudah dianggap biasa. Mengelus dada? Ah tak ada gunanya itu, berteriak kencang sambil melakukan performance art di depan gedung megah pemerintah, ditengah lalu lalang jalan raya membawa megaphone, membentangkan tulisan, poster gambar hutan rusak, atau apa lagi yang lain, semuanya itupun seperti angin lalu, hembusannya cuma lewat sambil membelai telinga para pejabat, apalagi cuma hanya mengelus dada.
Uang kah yang membuat hutan rusak? Hutan yang menghasilkan uang tetapi ia harus mengorbankan dirinya untuk menciptakan uang. Bukan uang untuk rakyat, tapi uang untuk pengusaha yang membuat semakin gendut pundi-pundi hartanya, sebagian lagi meluncur ke kantong para pejabat yang disuap untuk melindungi para pengusaha itu. Sungguh begitu picik mereka.
Hutan yang dulu sumber penghidupan semua makhluk, sekarang malah bisa menjadi sumber marabahaya. Hutan yang tak lagi lebat, bahkan gundul memiliki potensi menghancurkan sekitarnya. Dari bahaya sporadis seperti keluarnya hewan-hewan mencari sumber makanan ke pemukiman penduduk, sampai bahaya pembunuh massal seperti banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, dan entah apa lagi yang lain.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Meratap, menangis, merenung? Bukan itu, tapi berbuat sesuatu yang nyata. Menanam, menanam, menanam. Sedikit apapun kita menanam, sepesimis apapun kata orang, setidaknya kita sudah berbuat dan yang sedikit itu sangat berarti. Dengan satu orang menanam satu pohon bisa menghijaukan lagi Indonesia kita ini.
Satu lagi mari kita sama-sama berdoa, tolong Tuhan sadarkan mereka yang merusak alamMu ini, hanya Engkau yang bisa menyadarkan mereka. Busa dari mulut kami sudah habis, kering tak tersisa, sedang telinga mereka semakin tuli. Dan kembalikan senyum hutan kami lagi, hingga semua makhluk hidupmu bisa berpijak dengan kesejukan disana. Amin...