Pelawangan yang berkabut |
14 Mei 2012
Brrrrrrrr,,,Suara gemuruh angin ditemani hujan
yang turun cukup deras itu membangunkanku ditengah malam. Rencana awal jam 2
dini hari kami akan melakukan summit attack ke puncak Rinjani. Tapi apa mau
dikata, semuanya kecuali saya tidak berani menerjang badai pagi itu,
selain suaranya yang memang mengerikan, tubuh kami sepertinya masih butuh
istirahat setelah menempuh perjalanan yang berat dihari kemarin. Dan semuanya
kembali terlelap.
Sinar mentari membangunkan kami di pagi harinya,
meski keseluruhan badannya tertutup kabut tebal, masih saja sinarnya sanggup
menerobos hingga membuat ruangan di dalam tenda menjadi terang. Pagi yang
dingin, dengan rintik hujan yang masih sesekali turun, dan angin yang belum
berhenti menerjang membuat pohon di sekitar tenda kami bergoyang, tak
terkecuali tenda kami sendiri. Badanku sendiri terasa pegal-pegal, terutama di
bagian leher karena malamnya tidur dalam posisi yang tidak jelas. Kaki tidak
bisa lurus dan kepala miring, hasilnya leher tengeng :D. Tenda kami memang
kecil, idealnya maksimal untuk 3 orang, sedang ini kami mengisinya dengan 4
orang, saling gencet-gencetan, mirip sandwich terinjak :)).
Danau segara anak yang seharusnya terlihat dari
sini sama sekali tak terlihat, bahkan letak persisnya kami belum tahu pasti.
Kabut memang benar-benar tebal pagi itu, setebal cintaku padamu *preettt. Dari
sorot mata teman-teman mengisyaratkan kekecewaan karena tidak jadi ke puncak,
akan tetapi masih tersirat semangat yang tetap menyala meskipun terlihat kecil.
Akhirnya diputuskan untuk ngecamp satu malam lagi di pelawangan dan melakukan
summit attack keesokan harinya. Makan pagi mungkin bisa mengusir galau kami
kali ini. Menu masakan pagi ini adalah nasi sarden. Beuhhh, mie instan saja
terasa nikmat apa lagi sarden, hau che ping ping ping kalo kata Benu Boelo
(host ga jelas di sebuah acara di tv).
Selesai makan, cuaca terlihat bersahabat dengan
perginya angin dan hujan, meskipun kabut tebal masih membungkus gunung rinjani.
Sedari tadi puncak tak terlihat sedikitpun. Tiba-tiba ada seorang diantara kami
mengusulkan mendaki ke puncak hari ini. Entah siapa orang itu, hakim sepertinya,
hakim ireng lebih tepatnya. Ada dua hakim dalam kelompok kami, yang pertama
hakim ireng dan kedua adalah hakim duwur, kata di belakang yang mengikuti nama
depannya dibuat berdasarkan ciri fisiknya. Mungkin kalau saya bisa bernama
wisnu ganteng. Ya terima kasih tamparannya :p.
Jujur saya masih termangu dan bimbang pada saat
itu, apakah dengan cuaca seperti ini kami mampu menggapai puncak, karena
terdengar berita bahwa yang naik dari dini hari tadi banyak yang tidak sampai
puncak karena terhadang badai. ‘Uba rampe’ menuju puncak disiapkan, coklat, air
minum, dan jas hujan. Masing-masing membawa satu jas hujan, kecuali kimreng
yang percaya dengan kualitas jaketnya, walaupun sebenarnya sudah basah dari
kemaren :)). Semuanya dimasukkan dalam tas pak Djoko, kami hanya membawa satu
tas saja untuk menghemat tenaga tiap orang, nantinya pembawa tas akan digilir,
yang ga dapat giliran adalah Jeki dan Hasan. AH mereka ini.
Dari 8 orang, 2 orang tidak ikut dalam pendakian
ke puncak, mereka adalah hmm tidak usah disebutkan namanya, untuk klarifikasi
saya benar-benar ikut dalam rombongan ke puncak lho. 2 orang menunggu tenda,
oleh karenanya kamera saya tinggal di tenda karena saya merasa hampir mendekati
yakin kalau nanti akan bertemu hujan, kasian kan kameranya.
Sama seperti saat memulai naik dari bawah,
pendakian ke puncak juga di awali dengan doa. Teett jam 11 pas kami berangkat.
Tidak lazim memang mendaki ke puncak pada siang hari. Umumnya sampai ke puncak
adalah ketika matahari terbit, disamping pemandangannya sangat bagus, kulit
juga tidak akan terbakar sengatan matahari. Oke, kami tidak dapat sunrise, tapi
kulit kami juga tidak akan terbakar kok, karena mendung dan kabut,hehe (bahkan
hujan deras,ohh crap).
Di awal perjalanan kami bertemu dengan rombongan
yang turun dari puncak, dan sebagian besar dari mereka memang mempertanyakan
tentang niat kami mendaki di siang hari. Tapi ternyata kami tidak sendiri
karena akhirnya menemukan satu rombongan yang juga naik di siang itu. Rombongan
ini sudah bareng kami dari saat sebelum pos 3 kemaren. Hampir semuanya adalah
cewek, hanya beberapa saja cowok yang ikut di rombongan itu. Tepat sebelum
punggungan pertama, kami mendahului mereka, ciee kaya balapan aja. Dan saat itu
pula hujan rintik-rintik mulai turun. Kadang disertai angin.
“I won't forget the way you're kissing
The feeling's so strong were lasting for so long
The feeling's so strong were lasting for so long
But I'm not the man your heart is missing
That's why you go away I know”
That's why you go away I know”
Lagu MLTR
tersebut menjadi theme song pendakian ke puncak, hampir setiap istirahat yang dinyanyikan
adalah lagu itu. Langkah semakin berat ketika hujan dan angin bersatu dengan
tanjakan terjal dan pasir. Kiri kanan jurang yang sangat dalam, mengerikan
sekali sebenarnya. Kami tak tau berapa lama lagi puncak akan digapai. Ketika
kami bertemu 3 orang yang turun dari puncak memberi tahu bahwa puncak sudah
dekat, yess. Diakhir pendakian kami baru tahu kalo masnya itu bohong, sial.
Tak berapa lama setelah bertemu 3 pendaki tadi,
kami bertemu lagi dengan seorang pendaki, yang ternyata anggota rombongan dari
pendaki cewek-cewek tadi (mas pendaki ini cowok). Masnya bernama Haekal,
dedengkot kaskus. Dia nyempil dari rombongannya untuk
sendirian muncak. Untuk informasi, ternyata rombongan cewek-cewek tadi ga jadi
muncak ketika mendapati hujan dan trek pasir yang terjal, mungkin demi
keselamatan dan mengingat medan yang sangat berat. Nah mas Haekal ini bawa alat yang namanya
altimeter, yang berfungsi menginformasikan ketinggian tempat yang kita pijak.
Di altimeter masnya terbaca 3200 mdpl, what the f**k, masih 500 m lagiii??
Jujur mental agak down ketika melihatnya, kita sudah lama dan susah payah
mendaki masa baru di ketinggian 3200m. Rinjani ketinggiannya 3726 mdpl.
“Sitting here all alone in the middle of nowhere
Don't know which way to go
There ain't so much to say now between us
There ain't so much for you
There ain't so much for me anymore”
Don't know which way to go
There ain't so much to say now between us
There ain't so much for you
There ain't so much for me anymore”
Hmmm mending kita nyanyi MLTR lagi
ajaaaaa :))
Hampir di setiap babak pendakian ke puncak ini
saya berada di posisi paling depan, sampai di suatu titik dimana jarak
teman-teman cukup jauh, saya duduk beristirahat sambil tiduran dan malah
ketiduran beneran, setidaknya kesadaran saya sempat hilang. Ketika hendak
berdiri lagi, badan terasa sangat lemas, kedinginan, dan kelaparan. Tanjakan di
depan adalah tanjakan paling terjal dari sebelum-sebelumnya, trek pasir, dan
hujan semakin deras, dan lagi saya kepayahan. Argghhhh..
Posisi saya menjadi di paling akhir bersama sang
sweeper Kimreng. Berat, sangat berat langkah kaki yang harus digerakkan ke
atas, apalagi pasirnya gampang merosot. Kemiringan tanjakan mungkin lebih dari
45o dan panjang. Sampai di akhir tanjakan ada batu besar yang bisa
digunakan buat berlindung dari tiupan angin bercampur hujan. Di altimeter mas
Haekal menunjukkan angka 3486 mdpl, heiiii masih jauh pakde.
Hasan yang pertama melanjutkan pendakian dari
tempat berteduh itu, dan ia berteriak puncak di punggungan yang tak terlalu
jauh. Lalu disusul semua orang kecuali saya dan mas Haekal, kami benar-benar
kepayahan dan masih tak percaya kalau tempat itu adalah puncak. Sampai semua
orang disana memanggil dan bilang kalau tempat itu benar-benar puncak. Dengan
penuh harapan saya dan mas Haekal beranjak dan menuju tempat itu, dan memang
benar tempat itu adalah puncaakkkk,,yeiiii, 3726 mdpl sudah digapai. Dan
ternyata altimeter mas Haekal salah.
Pak Djoko dan Sebastian di puncak (photo courtesy of Sebastian Nababan) |
“It's not the mountain we conquer but ourself” Sir
Edmund Hillary
Memang kami tak dapat pemandangan apa-apa di
puncak, akan tetapi kami mendapatakan kepuasan, kemenangan atas diri sendiri.
Kami tak pernah mengalahkan ataupun menaklukkan gunung. Alam tak pernah bisa
dikalahkan oleh manusia, yang bisa mengalahkan hanyalah penciptanya.
Foto-foto dengan satu-satunya camera yang dibawa kelompok
kami yaitu camera milik Bastian yang anti air. Tapi sayangnya lensanya penuh
dengan air sehingga susah buat fokus, bahkan harus dijilat terlebih dahulu,
entah rasanya seperti apa. Mas Haekal sendiri juga membawa kamera underwater
yang digunakan dipuncak gunung, #okesip.
Ga terlalu lama kami disini, karena waktu sudah
sore, jam 15.30 tepatnya kami sampai puncak. Hanya ada beberapa foto yang
diabadikan, saya sendiri ga sempat foto sendirian :(. Sampai jumpa puncak, kami
turun dulu yaaa. Oh ya usut punya usut, kenapa Hasan memberanikan diri untuk
terus melangkah adalah karena dia mengira ketinggian Rinjani itu di kisaran
3500 mdpl, sedang altimeter mas Haekal menunjukkan angka 3486 m, jadi pikirnya
puncak sudah dekat. Yah, ketidaktahuan ternyata kadang membuahkan keberhasilan
:p.
Kita turun dulu yaaa...
“You must ascend a mountain to learn your
relation to matter, and so to your own body, for it is at home there, though
you are not. “ Henry David Thoreau
bersambung ke http://tanpakendali.blogspot.com/2012/05/rinjani-imagi-yang-tak-lagi-sebuah_1193.html
bersambung ke http://tanpakendali.blogspot.com/2012/05/rinjani-imagi-yang-tak-lagi-sebuah_1193.html
0 comments:
Posting Komentar