I see trees of green, red roses too
I see them bloom, for me and you.
And I think to myself,what a wonderful world...
And I think to myself,what a wonderful world...
I see skies of blue, And clouds of white.
The bright blessed day, The dark sacred night.
And I think to myself,
What a wonderful world...
(Louis Armstrong - Wonderful World)
16 Mei 2012
Pernahkah kalian harus
berpisah dengan sesuatu ketika kalian mulai merasakan suka bahkan cinta? Memang
cinta tak bisa ditebak datangnya, ada yang merasa ketika sudah ditinggalkan,
ada juga yang merasa saat masih bersama. Saya merasakan jatuh cinta saat masih
bersama akan tetapi harus segera berpisah dengannya dan entah kapan lagi kami
akan saling melepas rindu. Saya jatuh cinta dengan Segara Anak, saya jatuh
cinta dengan Rinjani. Dan saat cinta itu datang menggebu, saat itu pula saya
harus meninggalkannya.
Selain karna rasa suka dengan
Segara Anak, saya juga suka dengan suasana pagi. Saat sinar matahari menerobos
ranting dan dedaunan lalu merontokkan embun. Sinar yang menyegarkan, sinar yang
memberi semangat. Jadi pagi itu rasa suka saya dobel. Walaupun sejujurnya saya
sering mengkhianati cinta yang satu ini, karena sering kali tidak bangun pagi
:p.
Pagi-pagi sekali kami sudah
bangun untuk mempersiapkan segalanya untuk turun gunung. Kali ini kami turun
lewat Senaru, jalur selain Sembalun. Sebenarnya selain dua jalur ini masih ada
satu jalur lagi, yaitu Torean, cuma sangat jarang dilewati. Sejak sehabis
bangun tidur kami memasak untuk sarapan dan makan siang. Jadi makanan untuk
makan siang kami dimasak sekalian dipagi hari untuk menghemat waktu perjalanan
nantinya. Memang sih nanti makanannya dingin, tapi tak masalah.
Danau Segara Anak |
Sekitar jam 8, setelah
selesai packing semua barang, kami siap berangkat menuju Senaru. Dimulai dengan
doa dan foto-foto tentu saja. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
Senaru masih simpang siur, ada yang bilang lama dan berat (versi pendaki) ada
juga yang bilang relatif cepat (versi porter). Versi porter lebih susah untuk
dipercaya, karena mereka sangatlah cepat dan petunjuk waktu yang mereka
kemukakan tidaklah akurat, karena tidak satupun dari mereka yang membawa jam
:p. Berat atau ringan, lama atau sebentar, kita tetap akan menghadapinya, piye
meneh.
Saat mulai jalan, secara
kebetulan pemandangan danau begitu menakjubkan. Langit berwarna biru
sebiru-birunya dengan gumpalan awan yang berbentuk seperti domba yang banyak,
mungkin sedang digembalakan. Dan lagi air di danau memantulkan pemandangan
langit itu, hasilnya seperti ada dua dunia, seperti tak bisa dibedakan, cermin
alami. Pemandangan seperti itu membuat kaki semakin berat untuk meninggalkan
danau saat itu juga. Arggghhh...
Tujuan kami kali ini adalah turun
gunung, tetapi karena posisi start dari danau yang terletak di kaldera, alhasil
kami harus menaiki punggungan terlebih dahulu, dan punggungan itu tinggi banget
:(. Apalagi kami sudah tidak pakai porter. Awal perjalanan, kami melewati
pinggiran danau, lalu mulai mendaki terus dengan jalan yang begitu terjal.
Sempat beberapa kali bertemu dengan rombongan pendaki dari luar negeri. Sepertinya
pendaki asing lebih suka naik lewat Senaru.
Oh ya, beberapa pendaki yang
sempat ngobrol kemaren memilih turun lewat Sembalun lagi karena kabarnya jalur
Senaru ada longsor, saya sempat was-was awalnya, sampai akhirnya bertemu dengan
bekas longsoran tersebut. Pak Djoko yang awalnya berada jauh di depan sampai
menunggui kami semua dan memastikan semua anggota bisa melaluinya dengan
selamat. Longsoran tebing ini memang menutupi jalan, tetapi masih bisa
dilewati, tetapi tetap saja harus hati-hati karena jika terpeleset bisa masuk
jurang. Di perjalanan ini kami membelakangi danau, sehingga tiap kali istirahat
kami seperti mendapat pencerahan karena yang dilihat adalah pemandangan danau
yang luar biasa dengan sudut pandang yang berbeda dari kemaren.
Hasan dengan CocaColanya |
Tepat tengah hari Pak Djoko
sudah melewati punggungan yang juga bernama Plawangan (Senaru) ketika berteriak
“oiyyy ada warung disini, mau pesen apa?Coca-cola atau Sprite?”. Ahh pak Djoko
bercanda pikirku, biar kami semangat mendaki. Mana mungkin ada warung disitu, menurutku
yang paling mungkin adalah ada cafe disana,haha ngaco :p. Pak Djoko masih terus
berteriak hal yang sama, sampai akhirnya satu persatu dari kami sampai di
Plawangan Senaru dan akhirnya melihat warung tersebut. Dengan penuh keyakinan,
sebagian besar dari kami memilih memesan Cocacola. Rasanya josssss,,, Memang
harganya jauh lebih mahal dari harga biasanya, akan tetapi hal itu sangatlah
lumrah melihat beratnya membawa barang-barang itu sampai tempat ini.
Trek selanjutnya adalah
turunan yang curam dan tanahnya yang berdebu. Panas yang begitu menyengat
membuat peluh terus bercucuran. Tanah yang agak berpasir memaksa beberapa kali
diantara kami terpeleset. Ternyata turun juga tidak mudah. Memang tak berapa
lama kami sampai ke pos cemara lima tapi juga tidak terlalu lama kami
beristirahat karena takut kemalaman sampai di bawah.
Trek dari cemara lima ke pos
3 tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, kering, licin dan panas. Sedikitnya
pepohonan membuat sinar matahari sangat telak menampar tubuh. Untuk menghindari
kegosongan kulit sebaiknya anda gunakan Ni*ea, *malah iklan*,hehe. Sekitar jam
3 kami sampai ke pos 3. Pos ini cukup rame dengan para pendaki yang akan naik,
kebanyakan mereka adalah bule. Kata porter didekat sini ada sumber air. Saya dan
Pak Djoko merasa terpanggil untuk mengambil air, mengingat persediaan air
semakin menipis. Tapi ternyata air sungai tidak mengalir. Memang ada air yang
menggenang di batu-batu, tetapi kotor dan bahkan sudah ada jentik-jentik
nyamuknya. Saya dan Pak Djoko memutuskan untuk tidak mengambilnya dan memilih
untuk menghemat dalam mengkonsumsi air, dengan harapan cerita tentang adanya
sumber air si pos berikutnya benar adanya.
Trek selanjutnya menuju pos
2. Kami mulai memasuki wilayah hujan tropis dengan pohon yang rimbun sehingga
sinar matahari hanya sedikit saja menerobos ke permukaan tanah. Pohon-pohon
diberi papan nama spesiesnya, salut deh sama mereka yang meluangkan waktunya
untuk itu, walaupun sebenarnya nama-nama pohonnya sangat asing ditelinga saya,
bahkan nama lokalnya pun tak pernah mendengarnya.
Sore itu kabut merasuk
menyergap pepohonan, suasana menjadi lebih gelap walaupun dilihat dari jam sebenarnya
masih sore. Jika ketika naik lelah lebih ke arah napas yang seperti kehabisan,
sekarang ini kaki dan pundak benar-benar terasa lelah, dan saya kepayahan. Asam
laktat sudah terlalu banyak tertimbun mungkin. Hari semakin gelap ketika sampai
di pos 2. Pak Djoko, Bastian dan mas Risang mengambil air karena air kami
memang sudah habis. Di tanda petunjuk terdapat
info bahwa pos 1 berjarak 1,1 km lagi lalu gerbang pendakian 1 km dari pos 1.
Sebenarnya kami mulai mempertanyakan kevalidan jarak itu. Karena kami merasa
sudah jauh sekali berjalan akan tetapi kami baru menempuh setengah kilometer.
Setengah kilometer itu 500 m yang berarti 5 kali panjang lapangan bola. Entah karena
kami sangat lelah atau nutrisi ke otak semakin menipis sehingga pikiran kami
tak bisa terlalu banyak bekerja, yang ada kami malah mengutuki papan petunjuk
itu.
Jam 7 malam kami baru sampai
di pos 1. Ini adalah pengalaman pertama saya menuruni gunung pada saat gelap. Menurut
petunjuk, gerbang pendakian masih 1 km lagi. Kami bergerak dengan asa bahwa
sediki lagi rasa lelah ini akan mendapatkan obatnya, yaitu istirahat dan tidur.
Dan hati kami mulai bersorak ketika sekitar jam 8 gerbang itu perlahan mulai
terlihat. Memang benar itu adalah gerbang pendakian Senaru. Tapi yang paling
menyebalkan adalah itu bukanlah akhir perjalanan. Di dekat gerbang ada satu
rumah yang kebetulan menjual minuman dan makanan ringan, tapi itu bukanlah pos
pendakian. Pos pendakian masih 1,5 km lagi kebawah. Whaattttt??1 km saja
rasanya kaki ini mau copot, apalagi 1,5 km menurut papan petunjuk yang menurut
otak kami sangatlah dipertanyakan keakuratannya. Dengan langkah gontai, kami
paksa kaki ini untuk terus melangkah dan melangkah.
Sebenarnya papan petunjuk
yang memberi info bahwa 1 km dari pos 1 adalah gerbang pendakian tidak bisa
disalahkan, akan tetapi seharusnya juga dicantumkan bahwa pos pendakian bukanlah
di gerbang, sehingga hati kami yang membuncah mengira gerbang pendakian adalah
akhir dari perjalanan ini tidak merasa dibohongi. Ahh emang dasarnya kami
kelelahan, sehingga kami tidak bisa berpikir dengan jernih.
Sekitar jam 9 lebih kami baru
sampai di peradaban. Dan kami menyewa 2 kamar untuk beristirahat malam itu.
Sungguh perjalanan yang sangat berkesan, sekaligus melelahkan. Dari keseluruhan
perjalanan ini walaupun diakhir sempat merasa kesal, tapi tak bisa mengalahkan
kekeguman pada ciptaan Tuhan yang satu ini. Rinjani bagi saya adalah gunung
yang sangat indah, terindah yang pernah saya temui.
Rinjani, kita saling terasing
ketika belum berjumpa, namun kini meskipun kita berpisah, kau bukanlah asing
bagiku. Rinjani, aku tak tau arti sebenarnya namamu itu, tapi bagiku kau
berarti cantik, sangat cantik. Sampai jumpa lagi suatu saat nanti dan kuharap
kau tetaplah secantik ini. See u....
Ciyeileehh yang jatuh cinta di Rinjani (sama Rinjani).. lol
BalasHapushooh :D
Hapus