Foto dari JAAN |
"Pertunjukan lumba-lumba hanyalah tampilan dominasi manusia atas satwa. Mereka mendidik lumba-lumba seperti halnya Mickey Mouse si tikus." - Ric O'Barry-
Ketika umur saya menginjak medio
7 tahun, atau sekitar hampir dua puluh tahun yang lalu, saya pernah melihat
pertunjukan lumba-lumba atau bisa dikatakan sebagai sirkus lumba-lumba. Waktu
itu kebetulan di Yogyakarta ada event
sekaten yang tiap tahunnya sering menampilkan pertunjukan ini. Sama seperti
anak sepantaran saya, melihat pertunjukan hewan yang lucu dengan berbagai aksi
yang memukau tentulah rasa senang menghinggapi apalagi ditambah sesi foto naik
perahu yang didorong lumba-lumba atau pose ketika pipi kita dicium olehnya. Epic.
Belum lama ini Sekaten juga
digelar di Jogja, pertunjukan sirkus lumba-lumba masih saja menjadi maskot
setia yang mengiringinya. Dengan dalih pendidikan, penelitian dan konservasi dijadikan
pembenaran untuk membawanya berkeliling dari kota ke kota menghibur masyarakat.
Penonton terhibur, penyelenggara untung, lalu bagaimana dengan sang pemeran
utama, bahagiakah??
Lumba-lumba adalah makhluk yang
sangat cerdas. Mereka memiliki otak besar yang kompleks, mereka mengenali diri
mereka dan mereka juga menciptakan bahasa yang kompleks. Mirip sekali dengan
manusia, pintar. Mereka dapat berenang dengan kecepatan mencapai 40 km/jam.
Pintar dan cepat.
Sebelumnya sama seperti orang
awam yang lain, saya melihat lumba-lumba di sirkus itu begitu lucu, hewan
pintar itu pastilah senang dilatih dengan bermacam-macam aksi apalagi tanpa
harus mengejar ikan di laut mereka sudah diberi makan, tinggal minggir lalu
mangap, ikan kecil sudah berada di mulutnya siap untuk disantap. Tapi anggapan
seperti ini ternyata salah besar. Hal yang terjadi sebenarnya adalah mereka
tersiksa.
Ditangkap dari lautan lepas
tempat habitat asli mereka, lalu diangkut menggunakan truck kecil yang diisi
air laut dan dibawa menuju kota yang akan ‘menampung’ mereka. Perjalanannya
saja sungguh menyiksa, tapi itu belum seberapa. Di kolam yang katanya rumah
baru mereka, tak ada hal mewah yang menemaninya. Dengan luas kolam yang tak
seberapa dan air yang sering mengandung chlorine
berlebihan bisa saja menjadi racun yang membakar kulit dan mata mereka.
Ikan yang masih hidup yang biasa ditangkap di lautan diganti dengan ikan mati
yang kadangkala malah sudah busuk. Mereka terlihat sebagai hewan penurut padahal hal ini terjadi karena mereka 'dilaparkan'. Dengan begitu kalau mereka tidak menurut apa yang diperintahkan pelatih, maka mereka tidak mendapatkan makanan. Di alam, lumba-lumba selalu bergerak hingga
beratus-ratus mil setiap hari. Mereka menjelajahi banyak tempat, dengan sonar
yang dimiliki mereka bisa mengenali daerah sekitar layaknya GPS yang sangat
akurat. Bermain, berenang bersama keluarga dan teman-temannya dalam kelompok
yang erat adalah hal yang biasa dilakukan. Tetapi di kolam semua itu tak bisa
dilakukan. Mereka ini seperti berada di dalam jeruji penjara dan di situ pula
sonar mereka menjadi rusak. Jika manusia menyebut rumah mereka dengan istilah
Arab baitii jannatii (rumahku
surgaku) maka bisa saja lumba-lumba menyebut kolam tempat tinggal mereka dengan
baitii jahiimi (rumahku nerakaku).
Awal Februari ini saya menghadiri
acara diskusi tentang lumba-lumba dan pemutaran film ‘The Cove’ di Hotel Tugu
Bali, seminggu sebelumnya acara ini juga diselenggarakan di Jakarta. Acara yang
merupakan kelanjutan dari petisi di change.org tentang stop sirkus lumba-lumba
ini dihadiri oleh Ric O’Barry sang sutradara sekaligus bintang film pemenang
oscar ‘The Cove’, Femke den Haas dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Usman
Hamid aktivis HAM yang juga menjadi direktur kampanye Indonesia Change.org.
Hanya ada beberapa orang Indonesia yang menghadiri acara ini, entahlah mereka
abai atau tak tahu adanya acara ini, saya tidak tahu.
Femke den Haas |
Femke memaparkan berbagai masalah
yang dihadapi oleh lumba-lumba di Indonesia. Hal ini membuat saya terkesiap
karena begitu banyaknya hal buruk yang menimpa mereka. Di Bali yang merupakan
tempat wisata kelas dunia ternyata ada tempat yang menawarkan ‘Dine with
Dolphin’ dimana pengunjung bisa makan malam di depan kolam yang berisi
lumba-lumba. Sayangnya kolam itu begitu kecil dan bahkan airnya berwarna keruh.
Pengunjung makan malam dengan nyaman, lumba-lumba makan malam dengan tersiksa.
Ada lagi di Singaraja, daerah yang letaknya di bagian utara Bali, di sebuah
hotel mewah dengan daya tariknya adalah terdapat lumba-lumba di kolam yang
katanya tempat ‘penangkarannya’.
Usman Hamid |
Usman Hamid yang wajahnya tidak
asing di mata saya karena sering muncul di layar televisi memaparkan kemajuan
dari petisi stop sirkus lumba-lumba yang berhasil membuat Hero, Giant,
Coca-Cola dan Lottemart untuk tidak mendukung sirkus lumba-lumba dengan tidak
menyediakan tempat parkir untuk rombongan sirkus. Usman juga memaparkan bahwa
Garuda Indonesia tidak akan mendukung lagi sirkus lumba-lumba, mengingat
maskapai penerbangan ini pernah menjadi alat transportasi yang membawa
lumba-lumba dari Bali menuju Jakarta. Saat ini sirkus lumba-lumba keliling
masih ada di Indonesia yang konon di dunia sudah tidak ada lagi kegiatan
semacam ini, justru ijin dari pemerintah lah yang membuatnya tetap eksis. Saya
tahu sekali hal ini karena di sirkus yang ada di sekaten Jogja lalu, tiap hari
sirkus ini selalu diiklankan oleh surat kabar lokal yang begitu ternama di
Jogja. Bahkan di akhir pertunjukan dimuat berita dengan foto walikota sedang
dicium oleh si ikan pintar. Mungkin lumba-lumba terlihat bahagia dengan
ekspresi senyum yang manis. Tapi itu hanya seolah-olah saja, karena bentuk
wajah mereka memang seperti itu. Yang paling membuat geleng kepala adalah
walikota mengatakan kepada penyelenggara agar acara ini diadakan terus tiap
tahun. Sadis.
Bintang sore itu tidak lain
adalah Ric O’Barry. Aktivis penyelamat lumba-lumba yang berasal dari Amerika.
Dulunya Ric adalah bagian dari bisnis lumba-lumba, dia adalah trainer
lumba-lumba yang cukup terkenal dan mencapai puncaknya ketika menjadi pelatih
lumba-lumba untuk serial televisi yang terkenal di Amerika ‘Flipper’. Dari
lumba-lumba dia menjadi seorang jutawan tapi akhirnya dia memutuskan untuk
meninggalkan dunia itu setelah lumba-lumba yang dia latih bunuh diri. Dia baru
menyadari bahwa lumba-lumba yang hidup di kolam itu mengalami stres tingkat
tinggi. Stres itu pula yang menyebabkan umur lumba-lumba yang ikut sirkus hanya
sampai 5 tahun, padahal di alam bebas mereka bisa mencapai umur 40-50 tahun.
Ric O''Barry |
Ric O’Barry membuat film dokumenter
tentang perburuan dan pembantaian lumba-lumba di Teluk Taiji, Jepang. Film itu
juga diputar di acara yang saya hadiri ini. Miris melihat darah lumba-lumba
sampai membuat warna air laut di sekitar habitatnya menjadi merah. Dia membuat
film ini dengan cara sembunyi dari kejaran security
dan pihak pengusaha. Hal ini memang sulit mengingat waktu itu di daerah sekitar
tempat pembantaian itu ada program makan daging lumba-lumba bagi anak-anak.
Tapi Ric terus berusaha mengkampanyekan tentang penyelamatan lumba-lumba di
dunia internasional. Di kemudian hari hasilnya adalah dihentikannya pembantaian
dan program makan daging lumba-lumba di Jepang. Selain maksud yang telah
sebagian tercapai dari adanya film tersebut, dunia perfilman juga mengakui kualitasnya
dan mendapatkan beberapa penghargaan diantaranya adalah Best Documentary Feature
di 82nd Academy Award (2010).
Setelah menjadi aktivis dan
menjadi terkenal setelah film itu, saat ini hidup Ric O’Barry malah jadi tidak
aman. Dia sering diterror oleh orang yang kemungkinan besar adalah suruhan
pengusaha yang menggeluti bidang pertunjukan lumba-lumba. Memang saat ini musuh
terbesar dari para aktivis ini adalah pengusaha yang mengeruk untung sangat
banyak. Faktor perputaran uang yang sangat besar itulah yang membuat sangat
sulitnya menghentikan aktivitas ini. Sedang pemerintah tidak tegas menindak
mereka, tidak tegas atau tidak berani, entahlah.
Hidup di alam bebas juga tidak
menjamin kesehatan lumba-lumba. Mereka sering ditemukan terluka atau terdampar
di pantai, hal ini membuat mereka juga memerlukan perawatan medis dan
rehabilitasi. Oleh karena itu Ric dan JAAN membangun pusat rehabilitasi
lumba-lumba di Karimunjawa (Jawa Tengah) yang merupakan pusat rehabilitasi
lumba-lumba pertama di dunia.
Lalu apa yang bisa kita lakukan
untuk menyelamatkan lumba-lumba??
- Tidak membeli tiket untuk pertunjukan lumba-lumba, program berenang bersama lumba-lumba, ataupun hal yang mengeksplotasi lumba-lumba dari tempat aslinya.
- Beritahu teman-teman anda dan keluarga agar tidak mendukung penangkaran lumba-lumba dan paus kecil.
- Mendukung penangkaran alternatif seperti wisata melihat lumba-lumba di alam (habitat)nya, pameran tanpa lumba-lumba hidup, diving dn snorkeling.
- Begabung dengan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) atau komunitas yang bekerja untuk membebaskan lumba-lumba dari penangkaran/sirkus.
Mari kita berkontribusi nyata
menyelamatkan mereka dari penyiksaan. Tagar #savedolphin di twitter sudah
sering kita lihat semoga itu bisa menimbulkan efek yang luas dan aksi nyata
kita masih dibutuhkan untuk mendukungnya.
#savedolphin
*Sebagian besar info diperoleh dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN)
mkhluk cerdas yang harus di jaga keberadaan nya. LUMBA LUMBA... Nice Information
BalasHapussippp :D
Hapusyes! let's save the dolphins!
BalasHapussure!
Hapus