Rumah Pengasingan Sukarno di Ende |
Dipenjarakan di Penjara Banceuy dan Sukamiskin tidak
membuat Sukarno jera melawan Belanda. Beliau malah menjadi tambah bersemangat
untuk meraih kemerdekaan. Di penjara yang disebut pertama itu pula tulisan Indonesia Menggugat
dibuatnya, sebuah pledoi yang begitu terkenal.
Keluar dari Sukamiskin, Sukarno
merasakan cobaan yang lebih berat lagi, untuk membatasi pergerakan politiknya
oleh Belanda beliau diasingkan di Ende, Flores. Jauh dari peradaban kota dan
akses info berita yang sangat lambat membuatnya merasa tergoncang batinnya. Apalagi
dijauhkan dengan kawan maupun lawan politiknya membuatnya merasa takut
kehilangan sense berpolitik. Sukarno menggalau.
Bagian dalam rumah |
Adalah Inggit Garnasih istri yang
selalu setia menemaninya. Dengan penuh kasih sayang seorang istri, dia menjadi
pelipur lara bagi sang ksatria. Sifat keibuannya menjadikan Sukarno bisa
bangkit dari kegalauan dan tetap bersemangat untuk memerdekakan bangsanya dari
kungkungan penjajahan. Inggit dan Ratna Djuami (anak angkatnya) beserta Ibu Amsi mertuanya menemani Sukarno selama di pengasingan.
Sebuah rumah kecil milik Abdullah
Ambuwaru di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kota Ratu menjadi tempat tinggal selama
di Ende. Rumah sederhana dengan dua kamar tidur yang kecil menjadi saksi bisu selama
4 tahun (1934-1938) tinggal di pengasingan.
Saat itu Ende masih sangat kecil dan masih menjadi tempat endemik malaria. Sayangnya penyakit itu juga menjangkiti sang calon pemimpin negeri. Penyakit ini jugalah yang sering mengganggu kinerjanya di kemudian hari karena malaria adalah penyakit yang kambuhan.
Saat itu Ende masih sangat kecil dan masih menjadi tempat endemik malaria. Sayangnya penyakit itu juga menjangkiti sang calon pemimpin negeri. Penyakit ini jugalah yang sering mengganggu kinerjanya di kemudian hari karena malaria adalah penyakit yang kambuhan.
Salah satu tempat tidur yang ada di rumah pengasingan |
Meski tidak dipenjarakan, namun
berada ditempat yang terpencil juga terasa terpenjara. Apalagi berita
pergerakan revolusi kemerdekaan tidak terdengar di sini. Satu hal yang terasa
lebih enak adalah kebebasan yang lebih dari pada di dalam penjara meskipun dalam kesehariannya gerak-geriknya juga tetap selalu diawasi. Oleh karena
itu untuk mengisi kesehariannya, Soekarno melakukan berbagai aktifitas, salah
satunya berkesenian. Beberapa naskah tonil dia ciptakan yang selanjutnya dia
juga menyutradarainya untuk dipentaskan di Paroki Imakulata yang ada di
Ende. Tonil Kelimoetoe begitulah namanya. Disamping mengolah jiwa seninya,
dengan tonil itu pula beliau menyisipkan pelajaran tentang kemerdekaan kepada
masyarakat. Gelora revolusi itu harus terus disebarkan.
Syafrudin yang sekarang menjaga rumah pengasingan yang sebelumnya diemban oleh ayah dan kakeknya |
Sukarno lahir dari suami istri
Jawa-Bali. ayahnya Sukemi Sosrodiharjo adalah seorang Jawa yang bekerja sebagai
guru dan berteman dengan HOS Cokroaminoto. Ketika bersekolah di HBS (Hoogere
Burger School) di Surabaya, Sukarno tinggal di rumah pendiri Syarikat Islam itu. Hal inilah
yang membuat Soekarno melek politik sejak kecil. Dari tempat itu pula Sukarno
banyak belajar tentang agama Islam. Ibunya adalah Ida Ayu Nyoman Rai, seorang
wanita Bali yang mengajarkan adiluhungnya kebudayaan Bali kepadanya. Kebudayaan
yang berbaur dengan agama Hindu, yang otomatis juga mengalir dalam didikan dan
kasih sayangnya kepada Sukarno. Dari kedua orangtuanya itu Sukarno bisa
mendapatkan pelajaran kehidupuan dari budaya yang berbeda.
Ende adalah kota yang mayoritas
penduduknya beragama Nasrani. Ada beberapa pastor yang biasa diajak berdiskusi
dengan Sukarno tentang segala hal, begitu pula tentang agama. Begitu dekatnya
dengan pastor, itu pula yang membuatnya bisa mementaskan tonil di gudang sebuah gereja. Dengan seringnya berdiskusi dengannya, Sukarno bisa mengenal satu
agama lagi. Hal ini membuatnya menyadari bahwa satu agama saja tak bisa menjadi
satu landasan utama untuk mempersatukan bangsa. Harus ada formula yang tepat.
Grup tonil yang dia bentuk diberi nama Kelimoetoe/Kelimutu, sesuai dengan danau tiga warna yang letaknya tak jauh dari Ende. Dia adalah pendiri, penulis naskah sekaligus sutradaranya. Ada satu judul sandiwara yang sangat menarik yang dia ciptakan, judulnya adalah "Indonesia 45". Sukarno memprediksi Indonesia akan merdeka pada tahun 1945. Entah kebetulan atau bagaimana hal itu memang menjadi perwujudan yang nyata.
Grup tonil yang dia bentuk diberi nama Kelimoetoe/Kelimutu, sesuai dengan danau tiga warna yang letaknya tak jauh dari Ende. Dia adalah pendiri, penulis naskah sekaligus sutradaranya. Ada satu judul sandiwara yang sangat menarik yang dia ciptakan, judulnya adalah "Indonesia 45". Sukarno memprediksi Indonesia akan merdeka pada tahun 1945. Entah kebetulan atau bagaimana hal itu memang menjadi perwujudan yang nyata.
Seringkali ketika risau
menghinggapi, Sukarno merenung sendiri di bawah pohon sukun di Kota Ende.
Pohon yang letaknya dekat pantai tersebut membuat Sukarno leluasa melihat
lautan lepas sambil memikirkan nasib bangsa ini.
“Di kota ini kutemukan lima butir
mutiara. Di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila.”
kenang Sukarno tentang pohon sukun dan Ende.
Diasingkan tak membuatnya merasa
terasing. Dimatikan karir politiknya tak membuat semangatnya mati. Dari kota
Ende inilah lima butir dasar negara ini terfikirkan oleh sang calon
proklamator.
0 comments:
Posting Komentar