Danau Kelimutu |
Pertandingan leg kedua Liga
Champion antara Manchester United melawan Real Madrid menjadi hambatan. Pilih
nonton atau melihat sunrise di puncak Kelimutu. Pilihannya adalah melihat
satu babak pertandingan lalu baru berangkat. Tapi ternyata kami tidak dapat keduanya, gagal menonton MU
juga ketinggalan melihat sunrise
Tempat saya menginap Hotel Grand
Wisata Ende yang merupakan salah satu hotel cukup bagus di kota Ende ternyata
tidak memiliki fasilitas TV kabel, hanya menggunakan parabola biasa. Antena
umum tidak bisa digunakan di daerah ini, tidak bisa menangkap sinyal, karena
memang antena relay stasiun televisi
nihil di sini. Alhasil seperti umumnya saat siaran pertandingan sepakbola yang
menangkap siaran televisi menggunakan parabola biasa terkena hukum acak. Siarannya
diganti atau seperti di tempat saya menginap hanya terdengar suara komentator
saja tanpa terlihat pertandingannya. Jadi seperti mendengar radio saja. Ya
sudah, diputuskan untuk langsung ke Kelimutu, siapa tahu dapat mengejar sunrise.
Tapi ternyata rintanggan tiba-tiba muncul. Pak sopir mobil yang kami sewa
terlambat datangnya, ditambah salah satu teman ada yang telat bangunnya.
Sepertinya sunrise tinggal angan-angan saja.
Kelimutu terletak di Kabupaten
Ende, meski masih dalam satu kabupaten tapi butuh waktu hampir 2 jam untuk
mencapainya dari kota Ende. Jam 5 pagi kami berangkat dari Ende, hari masih
gelap jadi tak bisa melihat pemandangan. Saya memutuskan untuk tidur saja
selama perjalanan, lagi pula jalanannya berkelok-kelok naik turun membuat pusing, apalagi
saya termasuk orang dengan penyakit rawan mabok perjalanan.
Ketika membuka mata, sang surya
sudah menampakkan dirinya. Jalanan masih berbelok tidak karuan bedanya sekitar
jalan semua tampak. Kiri kanan banyak pohon pinus, menandakan sudah memasuki
wilayah dataran tinggi. Sesekali melewati pinggiran lereng, sehingga terlihat
pemandangan di seberang sana begitu indah. Jendela mobil dibuka sehingga saya
bisa merasakan sejuknya udara pegunungan. Kelimutu sudah dekat.
Jam 7 kami sampai di tujuan,
matahari sudah mulai merangkak naik. Hanya ada sedikit kendaraan di tempat
parkir, satu bus dan beberapa mobil saja. Memang ini bukan hari libur atau weekend sehingga wajar kalau tak banyak
pengunjung. Dari tempat parkir, saya bergegas menyusuri jalan yang berbentuk
tangga. Jalannya tidak curam sehingga tidak terlalu menyulitkan kaki dan nafas
yang sudah mulai menua ini. Apalagi udara yang segar begitu melegakan
pernafasan. Hanya saja angin yang berhembus cukup kencang di tempat
berketinggian di atas 1600 mdpl membuat tubuh saya cukup menggigil. Sialnya
lagi sweater saya sangat tipis.
Saya rasa tak sampai satu kilometer berjalan kaki sudah sampai danau pertama. Tiwu Ata Poli begitu namanya yang tertulis di papan. Saat itu air danau berwarna hitam, katanya perubahan warna ini belum lama, sebelumnya air danau berwarna hijau. Memang perubahan warna dari air danau tidak bisa diprediksi. Bahkan mengapa air danau bisa berwarna pun masih menjadi perdebatan. Ada yang berasumsi bahwa warna air dipengaruhi oleh ganggang yang hidup subur di dasar danau. Ada pula yang bilang bahwa bebatuan yang mengeluarkan zat kimia di dasar danau, zat kimia yang lebih dominan mempengaruhi warna air. Disamping itu ada pula pengaruh dari aktivitas kawah dan kandungan mineral lainnya.
Tiwu Ata Poli |
Selain Tiwu Ata Poli, masih ada
dua danau lagi. Satu danau ada disamping danau pertama, dipisahkan oleh tebing
yang bisa dibilang tidak terlalu tebal. Menurut cerita, dulu tebing pemisah cukup lebar sehingga bisa dilewati. Tapi karena pengaruh aktivitas vulkanik seperti gempa dan letusan menyebabkan tebing itu semakin lama menjadi kecil. Danau kedua ini disebut Tiwu Ata
Koofai. Saat itu airnya berwarna hijau cerah dan sudah cukup lama tidak berubah
warnanya.
Tiwu Ata Koofai |
Dari dua danau tersebut, untuk
melihat danau ketiga diperlukan perjuangan yang lebih untuk meniti anak tangga
yang cukup banyak. Di ujung anak tangga tersebut, puncak sudah menunggu.
Terdapat monumen yang berbentuk tugu. Dari tempat ini bisa terlihat ketiga
danau Kelimutu. Danau ketiga sendiri bernama Tiwu Ata Mbupu yang berwarna hijau
gelap.
Tiwu Ata Mbupu |
Ada kepercayaan masyarakat
setempat bahwa setiap danau tersebut merupakan tempat bersemayam roh nenek
moyang. Danau pertama merupakan tempat arwah orang yang memiliki ilmu hitam.
Siapa yang berbuat jahat, maka kelak arwahnya tinggal di kawah ini. Danau kedua
adalah tempat bagi arwah muda-mudi. Konon dahulu ada sepasang muda-mudi yang
menceburkan diri dikawah ini karena cinta mereka tidak direstui. Air danau yang
selalu berwarna hijau/biru cerah menggambarkan gejolak kawula muda yang masih
cerah kehidupannya. Danau terakhir yang berwarna hijau gelap adalah tempat bagi
arwah orang tua. Airnya yang tenang dan berwarna agak gelap menjadi simbol
orang tua yang tenang dalam menjalani hidup.
Bocah yang ikut orang tuanya berjualan di Kelimutu |
***
Saya sempat mendapatkan candaan
dari Bang Dalbo, sopir kami tentang danau yang pernah menjadi gambar uang lima
ribuan jaman dulu ini. Dulu air danau pernah berwarna merah, putih dan biru.
“Itu karena dulu Belanda menjajah
kita, makanya air danau berwarna sama dengan bendera mereka. Setelah Belanda
pergi air danau berubah-ubah terus warnanya” candanya dengan logat khas daerah
Ende.
Lalu bagaimana warna danau saat
Jepang menjajah ya? Apakah berwarna putih lalu di tengahnya ada lingkaran
berwarna merah? Entahlah.
Ada pula Pak Markus yang sangat
ceria menyapa kami. Dia ini adalah guide yang menemani para wisatawan
menjelajahi Kelimutu. Cara dia bertutur kata begitu cepat dan menggebu-gebu.
Senyum lebar selalu tersungging di bibirnya. Sambil memperkenalkan dirinya dan
bercerita bahwa dia sudah lama tinggal di sana.
“Bapak dari mana? Dari Jawa ya?”
tanyanya.
“Bapak dari Jawa, saya dari
Kelimutu, kita berbeda tapi kita tetap satu untuk membela Indonesia. Seperti warna danau Kelimutu yang berbeda-beda tetapi tetap saja mereka ini adalah satu
Kelimutu. Merdeka”, dengan berapi-api dia berbicara meski saya tak menanyakan
apapun sebelumnya.
Saya menjabat tangannya selam perkenalan sekaligus
salam perpisahan untuknya dan untuk Kelimutu. Sampai jumpa di lain kesempatan.
Dan selanjutnya saya memaksa diri untuk terlelap lagi di dalam mobil karena
mabok akan segera menghantui lagi. Untuk menghindarinya, mari kita tidur.
jadi kangen keindahan danau kelimutu. warnanya sama persis waktu saya kesana dulu..
BalasHapuskesananya kapan mas?
Hapusudah lama sih, sekitar tahun 2008/2009
Hapusteman saya kesana desember 2012 warna danau pertama tu hijau mirip sampingnya
HapusKok MU vs Madrid? Bukannya Dortmund ya yg musim ini jadi lawan Madrid di semifinal? #salahfokus
BalasHapusini udah lama kesananya,,pas 16 besar MU lawan Madrid waktu itu
Hapus