Menatap alam dari Merapi |
Pada medio tahun 2010, beberapa
bulan sebelum Merapi marah dengan membabi buta yang konon merupakan letusan
terbesarnya sejak beberapa abad sebelumnya, saya sempat mendakinya. Tapi bukan
karena letusannya itu yang membuat saya pada waktu itu merasa begitu kecil dan
begitu lemah. Justru karena kesalahan yang saya (kami) buat sendiri.
Masa kuliah, saya sering sekali
mendaki gunung. Gunung-gunung di daerah Jawa Tengah merupakan tempat yang cukup
akrab dengan saya karena memang posisi tempat saya tinggal di Yogyakarta, maka
tempat-tempat itulah yang menjadi ajang petualangan untuk memuaskan gairah masa
muda. Kalau untuk pergi ke gunung yang jauh susah di biaya, maklum mahasiswa
pas-pasan.
Sebelumnya saya sudah mendaki
Gunung Merapi sebanyak lima kali, jadi kali ini adalah pendakian ke enam saya.
Bisa dibilang saya cukup mengenal jalur yang akan dilalui sampai puncak. Saya selalu
mengambil jalur dari Selo, selain ini adalah jalur yang paling pendek dan
paling mudah, konon memang hanya dari jalur ini pula kita dapat menggapai
puncak Garuda (puncak Merapi pada saat itu sebelum letusan 2010). Dari basecamp di Selo sampai Pasar Bubrah (tempat
camp sebelum puncak yang merupakan tempat datar yang luas dengan banyak batu
besar yang berserak tidak beraturan sehingga disebut Pasar Bubrah/Pasar Rusak) umumnya
memerlukan waktu kurang lebih 4 jam. Lalu dari Pasar Bubrah ke puncak waktunya
sekitar satu jam. Karena waktu yang dibutuhkan relatif tidak terlalu lama untuk
mencapai puncak, maka tidak heran jika banyak pendaki yang mengejar melihat sunrise di puncak memulai pendakian dari
basecamp pada tengah malam, dan tidak
perlu “ngecamp” di Pasar Bubrah. Barang yang dibawa tidak terlalu banyak, bekalpun
biasanya juga hanya secukupnya saja, alhasil tas terasa ringan dan tidak
terlalu menyulitkan pergerakan kaki mendaki jalan yang menanjak. Pada waktu itu
saya dan teman-teman menyebut tipe pendaki ini tidak menikmati keindahan alam,
karena sangat cepat total waktu pendakian dan turunnya.
Edelweis di Pasar Bubrah |
Nah waktu itu saya bersama dua
teman mencoba merasakan tipe pendakian seperti itu. Naik dini hari sampai
puncak pas sunrise, lihat-lihat sebentar
langsung turun, lalu sampai rumah pada siangnya. Cepat dan tak perlu persiapan
yang banyak-banyak. Tenda yang sangat diperlukan ketika hujan mendera tidak
diperlukan karena ini kan musim kemarau mana ada hujan, pikir kami. Namun kenyataannya tak
semudah yang kami pikir.
Berangkat dari Jogja sudah cukup
malam, sekitar jam 22.00 WIB. Perlu waktu sekitar 2 jam perjalanan menggunakan sepeda
motor untuk sampai basecamp Merapi di Selo. Tepat dinihari kami sampai di sana.
Ternyata bukan hanya rombongan kami saja yang ada di basecamp ada beberapa rombongan lain yang juga memiliki rencana
untuk mulai jalan pada malam ini. Kami beristirahat sebentar untuk memulihka
tenaga setelah perjalanan 2 jam di atas goncangan motor. 2 teman saya bisa
langsung tidur pulas sedangkan saya hanya memejamkan mata tapi tak sempat
terlelap. Satu jam berikutnya mereka bangun dan kami pun siap mendaki.
Barang yang ada di dalam tas kami
tak banyak, bahkan bisa dibilang sedikit. Tiga dari kami yang membawa tas carrier hanya satu orang saja, yang lain hanya daypack biasa saja. Di dalamnya yang paling banyak memakan volume
tas hanyalah sleeping bag yang
meskipun volumenya lumayan besar tetapi beratnya ringan. Selain itu
masing-masing dari kami membawa air mineral satu botol ukuran 1,5 liter(yang
tas carrier 2 botol) dan satu botol ukuran 700 ml, beberapa snack, mie instan,
dan tidak lupa jas hujan. Juga satu kompor kecil dan gasnya, tapi saya lupa
dibawa siapa. Cukup minim perlengkapan bukan?
Tak ada hal yang cukup dirisaukan
selama perjalanan sampai ke Pasar Bubrah, wong beban juga tak seberapa.
Mulus-mulus saja. Sampai di Pasar Bubrah pun sesuai dengan perhitungan, jam 4
lebih sedikit kami sampai di sana. Ada cukup banyak pendaki yang berkerumun,
dan mereka juga tidak memakai tenda. Hanya ada beberapa tenda saja yang kami
lihat berdiri di antara bebatuan besar yang berserakan.
Langit tidak terlihat waktu itu,
bukan karena mendung tapi karena kabut sangat tebal. Sangat riskan untuk
langsung melanjutkan perjalanan ke puncak. Lagipula kami juga merasa lelah. Lalu
diputuskan untuk istirahat sebentar di Pasar Bubrah, selain untuk meredakan ketegangan
otot juga menunggu sampai kabut hilang. Tidak dapat sunrise di puncak tidak masalah.
Jas hujan digelar untuk alas
tidur, karena saya pernah membaca jika tidur di tanah tanpa alas maka panas
tubuh akan tertransfer ke tanah, sehingga tubuh akan menjadi dingin. Maka diperlukan isolator untuk meminimalisir panas tubuh kita tertransfer. Idealnya
alas/isolator yang digunakan adalah matras, karena kami tidak membawanya maka jas hujan
yang mensubtitusi tugasnya, meskipun sebenarnya juga tidak ngaruh dalam menghambat transfer panas, cuma mengahambat sleeping bag terkena kotor dari tanah. Alih-alih jas hujan digunakan untuk menutupi bagian atas agar terhidar
dari kabut. Di sini mulai terjadi masalah. Sleeping
bag yang saya pakai sangatlah tipis. Sedangkan kondisi cuaca sangat
berkabut. Angin juga berhembus sangat kencang, dingin sekali. Kabut adalah uap
air, dan jika kontak langsung terus menerus maka yang terjadi adalah sleeping bag saya basah. Di suhu yang
sangat dingin dengan sleeping bag yang
basah adalah sebuah siksaan yang sangat menyakitkan. Tanpa disadari seluruh tubuh
saya menggigil dengan sendirinya, di luar kesadaran. Tubuh bergoncang. Saya
melihat kedua teman saya tidur dengan pulas, mengingat sleeping bag yang mereka gunakan cukup tebal.
Saya tak bisa berpikir banyak dan
dalam keadaan setengah sadar. Justru di situ pula kesalahan saya. Seharusnya
dalam keadaan seperti itu pikiran harus terjaga, karena jika pikiran sudah
tidak terjaga maka bisa-bisa nyawa juga akan tidak terjaga. Tubuh tergoncang
semakin kuat, mungkin sebentar lagi saya akan mendapati bagaimana itu
hypothermia. Hingga akhirnya salah satu teman saya tanpa sadar bergerak dalam
tidurnya dan menyentuh bagian kaki saya. Karena kaki saya juga bergetar
menggigil, maka teman saya terbangun dan mendapati saya kedinginan. Cepat-cepat
saja dia bangun lalu memberikan sleeping
bag nya untuk menghangatkan. Lalu memasak air untuk membuat minuman panas
agar tubuh saya naik suhunya. Alhamdulillah saya selamat.
Puncak Merapi di belakang sana |
Pengalaman ini sungguh membekas
dalam pikiran saya. Sejak saat itu tidak pernah lagi saya mau mendaki tanpa
membawa tenda. Sebuah pendakian haruslah dipersiapkan dengan semaksimal
mungkin. Pendaki yang paling baik adalah pendaki yang mempersiapkan segalanya
dengan sangat baik pula, bukan karena merasa hebat lalu tak perlu membawa
banyak peralatan. Kita ini hanyalah manusia, alam jauh lebih besar dari kita, dan
jauh lebih besar lagi adalah Tuhan yang Maha Besar. Takutlah kepada Nya.
Jangan pernah meremehkan alam,
dan lebih luas lagi jangan pernah meremehkan semua yang ada di dunia ini.
merapi tak pernah ingkar janji wis #halah
BalasHapusitu kata Pak Surono ketua BMKG :D
HapusTerkadang kita menganggap diri kita kuat untuk menghadapi alam tanpa tahu potensi bencana yg mereka sebabkan pada kita. Pelajaran yg sangat berharga nih.
BalasHapussipp bang Rotua Damanik :)
Hapusterima kasih sudah mampir
safety firstnya belajar dari pengalaman, sama kek saya kali pertama ke merapi ;)
BalasHapusyuppp :D
Hapussepakat kaya komen di atas..safety first..karena perjalanan itu sindiri adalah pelajarn..:-)
BalasHapussipp om Indra
Hapusdimana saja, kapan saja, selalu utamakan keselamatan ya mas dalijo! :D
BalasHapusyoiiiii
Hapuskerenn kakkkkkkkk! :D
BalasHapusaihhh di komen kak bowo,,makasih kak :))
HapusPengalaman dan pelajaran yang sangat berharga ya Mas...
BalasHapusAkhir maret 2010, naik merapi tek tok dari kaki puncak. Naik subuh turun sore via Selo. Pas turun, kaki rasanya gempor. Semuanya memang harus dipersiapkan ya :)
Senang sekali membaca pengalamannya Mas Wisnu :)
woww naik gunung pas siang2 gitu gosong ga?hehe
Hapusterima kasih om yudi udah mampir :)
sangat setuju dengan kalimat: "Kita ini hanyalah manusia, alam jauh lebih besar dari kita, dan jauh lebih besar lagi adalah Tuhan yang Maha Besar. Takutlah kepada Nya."
BalasHapusiya mbak Messa,,makasih udah mampir di sini :)
Hapus