Pura Tirta Empul tak begitu ramai
siang ini. Tak seramai ketika saya pernah kesini sebelumnya. Memang waktu saya
kesini sebelumnya tepat pada hari minggu dan juga ketika bulan purnama.
Sedangkan saat ini adalah hari biasa, bukan hari libur maupun hari penting
untuk bersembahyang umat Hindu. Bisa disimpulkan kalau ingin melihat orang
berjubel di sini carilah hari libur atau hari sembahyang umat Hindu, kalau pengen
yang selo ya seperti saya saat ini.
Pura ini agak lain dari
kebanyakan pura di Bali. Selain letaknya yang di dekat Istana Kepresidenan
Tampak Siring (Pura Tirta Empul jauh lebih dulu ada dibanding istana), juga
karena adanya mata air dan pancuran untuk membersihkan diri.
|
Kolam untuk melukat |
Ada 3 kolam untuk melukat atau
membersihkan diri. Kolam pertama cukup besar mungkin sekitar 20 x 5 meter, lalu
kolam kedua ukurannya kecil sekitar 3 x 5 m, sedangkan kolam terakhir berukuran
medium sekitar 10 x 5 meter. Total pancuran yang ada berjumlah 20 pancuran. Kolam
pertama dipisahkan tembok dari kolam kedua dan ketiga. Yang saya lihat
kebanyakan para peziarah hanya melukat di kolam pertama saja karena ternyata memang
kedua kolam lainnya diperuntukkan bagi keperluan yang lain. Ketika saya mencoba
menyentuh airnya, nyessss dinginnn.
|
Orang yang melukat/membersihkan diri |
|
Bule pun ikut melukat |
Yang hendak membersihkan diri,
mereka akan membasuh kepala dengan air yang mengalir dari pancuran. Satu
persatu pancuran didatangi lalu berdoa di depannya dan selanjutnya membasuh
kepala mereka. Jika membawa canang yang berisi sesaji akan diletakkan di atas
pancuran. Begitu terus sampai ke pancuran terakhir.
|
Pancuran dengan canang sesaji di atasnya |
Air yang mengalir di pancuran
tadi berasal dari sumber mata air yang berada tak jauh dari kolam. Air terlihat
keluar menyembur dari tanah membuatnya terlihat seperti mendidih. Di sekelilingnya
banyak terdapat tumbuhan hijau
menandakan airnya cukup sehat untuk ditumbuhi makhluk hidup.
Tiba-tiba teman saya menunjuk ke
arah rimbunnya tumbuhan hijau tersebut lalu bilang bahwa dia melihat ada belut
dengan ukuran yang cukup besar. Saya mencoba mengikuti arah dari jari
telunjuknya itu, namun tetap tak melihat hewan yang dimaksud. Sampai akhirnya
hewan itu bergerak dan saya hanya melihat sekelebat ekornya saja.
|
Sumber Mata Air Tirta Empul |
“Mas ini akan dapat keberuntungan”,
kata bapak yang meminjami selendang di depan pura yang mendengar kisah kami
tentang belut (untuk memasuki pura memang semua orang harus memakai selendang).
Menurut kepercayaan di sini,
orang yang melihat belut raksasa itu akan mendapat keberuntungan dalam
hidupnya. Bila dipikir kami memanglah orang beruntung bisa melihat belut itu
yang menyaru di antara tumbuhan yang hidup di dalam kolam mata air. Tak banyak
yang pernah melihatnya meskipun konon tak hanya ada satu belut saja yang
tinggal di sana.
“Di kolam lain pun sebenarnya ada
belutnya, mas. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihatnya”, lanjut
bapak tadi.
Wah ternyata saya bukanlah
termasuk diantara orang-orang tertentu itu.
|
Kolam dengan banyak koin |
Yang menarik adalah di kolam mata
air ada papan peringatan agar tidak melemparkan koin ke dalamnya, mengingat ada
kolam lain di kompleks ini yang sudah cukup banyak dilempari koin. Hal ini
mirip dengan kepercayaan akan memperoleh keberuntungan apabila melempar koin pada
beberapa air mancur yang ada di Eropa. Ahhh ternyata kolam kuno yang ada di
pelosok Bali pun sudah terkena kepercayaan masyarakat barat. Untungnya saya
tidak membawa satu koin pun untuk dilempar. Sayang juga sama koinnya.