Pantai Lovina |
"Saya ingin sekali melihatnya di lautan lepas, di rumah mereka."
Angin
semilir membawa uap air dengan bau khas, aroma laut. Perahu-perahu berjejer di
pinggir pantai, tak segaris tapi masih tetap terlihat rapi. Matahari baru saja
lepas dari persembunyiannya, belum terlalu kuat menghalau kabut-kabut yang
menutupi barisan bukit di belakang pantai.
Meski cuaca tak terlalu cerah, gelombang air masih begitu tenang,
suasana pun tak ramai dengan pengunjung. Lovina begitu syahdu pagi ini.
Terlihat seorang ibu penjual
makanan duduk di belakang meja kecilnya, menghidangkan beberapa gorengan dan beberapa
jenis minuman yang diseduh dari termos airnya. Sendirian. ‘Mau lihat dolphin dek?’ sapanya sambil tersenyum ketika
saya melewatinya. Saya membalasnya juga dengan senyuman dan mengangguk untuk
menjawab ‘iya’.
Lovina memang terkenal dengan
wisata lumba-lumbanya. Wisata ini mulai terkenal sejak pertengahan tahun 90an. Hal
ini ditandai dengan adanya monumen lumba-lumba yang dibangun di pinggir pantai.
Perahu kecil atau bisa juga disebut jukung yang digunakan untuk mengantar
wisatawan ke tengah laut banyak ditemui disini. Tarif Rp 60.000,- per-orang
menjadi salah satu sumber pendapatan warga sekitar yang mempunyai jukung.
Saya diantarkan oleh ibu tadi ke
bapak ‘pengemudi’ jukung yang sudah siap berangkat melaut. Selain saya ada tiga
bule yang juga menjadi penumpangnya.
Mesin Honda GX dengan daya 9 HP
yang ada di belakang jukung sudah dinyalakan dan saat itu pula baling-baling
berputar mendorong jukung yang terbuat dari fiber untuk melaju. Jukung ini tak
begitu besar, dengan lebar tak lebih dari satu meter menyebabkan penumpang tak
bisa duduk berdampingan. Panjangnya pun tak seberapa, sekitar 7 meter. Lima
orang penumpang termasuk sang nahkoda itu sudah kapasitas maksimal.
Sudah setengah jam perjalanan dan
kami sudah cukup ke tengah laut ketika saya merasa penasaran karena belum juga
terlihat satupun lumba-lumba. Sempat beberapa kali berpapasan dengan jukung
lain, dan dari wajah-wajah mereka tak menampakkan raut muka kecewa, yang saya
artikan bahwa mereka habis melihat aksi lumba-lumba. Saat itu saya masih
tenang-tenang saja.
Pak Mangku Banjir, begitulah yang
diucapkan ketika saya menanyakan namanya. ‘Biasanya banyak sekali dek
lumba-lumbanya, karena disini itu habitat mereka’ jelas Pak Mangku. ‘Karena itu
pula tak ada musiman untuk bisa melihat lumba-lumba, kita bisa melihatnya
sepanjang tahun, ini rumah mereka.’ tambahnya.
Tapi entah para lumba-lumba itu
sedang sembunyi di bagian rumah yang mana atau malu untuk menemui tamu-tamu
mereka, karena sudah satu jam jukung berputar-putar, berpindah dari satu titik
ke titik lainnya, masih saja mereka belum terlihat.
‘Di dekat sini sebenarnya ada
tempat untuk melihat lumba-lumba di kolam. Ada dua ekor lumba-lumba kalo tidak
salah, hanya saja mahal, Rp 300.000,-/orang.’ Pak Mangku mulai bercerita lagi,
entah yang diceritakan ini karena dia sudah putus asa mencari lumba-lumba atau
apa, saya tak bisa membaca pikirannya.
‘Tapi lumba-lumbanya tidak berasal
dari sini. Katanya dibawa pake truk yang diisi air dari Semarang. Disini tak
ada lumba-lumba yang ditangkap. Kami hidup dari lumba-lumba ini, kalau mereka
ditangkap, lalu kami mau makan darimana?’
Pelangi di tengah laut |
Ditengah-tengah cerita Pak Mangku,
alih-alih melihat pemandangan lumba-lumba, kami malah disuguhi pelangi besar di
tengah lautan.
‘Dulu sebelum ada wisata
lumba-lumba ini, masyarakat sekitar sini hidup mencari ikan, tapi setelah
wisatawan ramai ingin melihat lumba-lumba, banyak yang beralih menjadi
pengantar wisatawan, hotel-hotel banyak dibangun, sebagian menjadi pegawai
hotel, ada juga yang menjual suvenir.’ dengan jelas Pak Mangku bercerita,
sambil matanya menatap laut memburu dimana lumba-lumba terlihat.
Satu setengah jam sudah kami berada
di atas jukung dan tak jua ditemui lumba-lumba, satupun tidak. Saya ingin
sekali melihatnya di lautan lepas, di rumah mereka. Saya tidak berharap mereka
menampilkan atraksi memukau melompat melewati lingkaran api, atau menyundul
bola warna-warni. Tak juga ingin difoto saat mereka mencium pipi saya. Karena
saya tau ini bukan sirkus dan mereka juga tidak pantas untuk dijadikan produk
sirkus. Hewan ini sangat pintar dan bukannya terlihat seperti itu ketika mereka
ada di sirkus, mereka terlihat bodoh.
Padahal ada tiga jenis lumba-lumba
yang hidup di perairan Lovina, Spinner
dolphin (Stenella longirostris), Spotted dolphin (Stenella attenuata) dan Bottlenose
dolphin (Tursiop truncatus) lebih banyak daripada yang melewati perairan
Kiluan di Lampung. Tak satupun dari jenis itu menampakkan dirinya. Spinner dolphin adalah lumba-lumba yang
sering ‘dipakai’ untuk atraksi di sirkus, mereka hidup berkelompok dan senang
‘menari’ dilautan juga menyenangi perairan tropis.
Rasanya banyak hal bergantung pada
kehidupan lumba-lumba di perairan Lovina ini; sadar-tak-sadar sejak wisata ini
populer entah sudah berapa kali jukung ini menyumbang minyak bakar di perairan
mereka, sudah berapa tulisan mengenai mereka, sudah berapa foto yang
menyebarkan kecantikan mereka, sudah berapa rupiah dan dollar yang menyokong
kehidupan manusia di Lovina.
Sedangkan mereka, lumba-lumba itu,
apa yang didapatkan sejak itu?
***
The Wish jukung yang saya naiki |
Jukung mulai menepi ke pantai lagi
karena bahan bakar sudah mulai menipis.
‘We are not lucky,’ tutup Pak
Mangku.
Terlihat wajah yang begitu kecewa
dari para bule yang duduk satu tumpangan dengan saya. Mungkin mereka juga
melihat hal yang sama terlukis di wajah saya. Dan sampai juga kami di pantai
Lovina tanpa oleh-oleh gambaran lumba-lumba, hal itu masih menjadi harapan kami
sesuai dengan nama jukung yang kami naiki, The Wish. [WY/F]
Tulisan ini dipublikasikan juga di Travelist Magazine Edisi ke 7 dan diedit oleh Ferzya Farhan
yang sabar ya pak.. hehehe
BalasHapusiya mas,,hehe
Hapus