Bapak-bapak dengan pakaian adat
Bali saling bercanda dan bercengkerama di bale-bale yg terletak di tengah desa.
Senyum kadang diselingi tawa mewarnai obrolan mereka. Terlihat sangat rukun
antar tetangga.
“Kami sedang ada pertemuan rutin
bulanan” kata Pak Wayan. Sosok bapak setengah baya yang terlihat rapi dengan
pakaian adat dan udeng yang melingkar di atas kepalanya. Saya lupa nama
belakangnya. Di Bali kalo mencari seseorang hanya bermodal nama depan saja sama
halnya dengan iklan suatu jasa pengiriman yang mencari nama Wang di China,
banyak sekali yang punya nama tersebut.
“Seperti arisan”, lanjutnya.
Ini adalah Desa Penglipuran. Desa
yang terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli ini
memiliki tata desa yang khas. Rumah-rumah berjejer dengan rapi mengapit satu
jalan utama yang membelah desa. Tiap-tiap rumah memiliki bentuk yang hampir
sama dan juga memiliki sebuah gapura atau angkul-angkul di depan sebagai pintu
gerbang memasuki rumah. Jumlah rumahnya sendiri ada 76 rumah. Sebagian
berfungsi sebagai homestay untuk para tamu yang ingin merasakan bermalam di
desa ini.
Ada dua versi dari mana nama
Penglipuran ada. Yang pertama berasal dari kata “Pengeling Pura” yang artinya
eling/ingat kepada pura/tempat suci. Hal ini berkaitan dengan asal-usul leluhur
mereka yang berasal dari Bayung Gede, Kintamani, selanjutnya mereka membangun
tempat suci yang sama dengan yang ada di Bayung Gede. Versi yang kedua
mengatakan bahwa Penglipuran berasal dari kata “Penglipur” yang berarti
penghibur. Hal ini berhubungan dengan kisah dari jaman dahulu di mana tempat
ini dijadikan tempat melipur lara atau rekreasi anggota kerajaan.
Pura di Desa Penglipuran |
Luas desa sebesar 112 hektar.
Bagian pemukiman hanya menempati area sebesar 9 ha dan tidak bertambah lagi.
Jika anggota keluarga sudah bertambah dan rumah tidak lagi mencukupi untuk
menampung mereka, maka rumah akan dibangun di daerah tegalan atau ladang yang
disebut dengan pondokan. Saat ini jumlah penduduk sekitar 1000 jiwa. Daerah
yang paling luas adalah hutan bambu yang mengambil wilayah sebesar 75 hektar
(sumber Pak Wayan, akan tetapi ada yang menuliskan luas hutan bambu di angka 45
ha). Sisanya adalah sawah dan ladang. Dari ladang dan sawah tersebut lah
sebagian besar penduduk menggantungkan mata pencahariannya. Sebagian menjadi
perajin kesenian ataupun berjualan. Sebagian kecil lagi bekerja sebagai pegawai
negeri. Sedangkan hutan bambu menjadi sumber daya alam untuk membangun rumah,
kerajinan tangan maupun untuk membuat perlengkapan dalam upacara adat.
Suasana Desa |
Kenyamanan desa ini sangat terasa, selain memang kebersihan dan
keasrian desa sangat terjaga, hal ini juga didukung dengan letaknya yang berada lebih dari 500 m di atas permukaan laut yang membuatnya terasa sejuk. Di tambah lagi keberadaan hutan
bambu yang juga terjaga. Bambu diambil seperlunya saja, tidak berlebihan. Hal
tersebut membuat fungsi untuk peresapan air tidak hilang dan menjadi penyedia
air bersih saat kemarau.
Hutan bambu |
Angkul-angkul depan rumah |
Beberapa hal menarik tersebut lah
yang menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Penglipuran. Sekitar awal
tahun 90 an desa ini mulai dikunjungi akan tetapi baru tahun 2012 pemerintah
meresmikannya sebagai desa wisata. Karena banyak kunjungan wisatawan itu pula membuat beberapa warga berinisiatif untuk membuka warung makan. Minuman
khas yang dijual adalah loloh. Minuman berwarna hijau berasal dari daun-daunan.
Seperti jamu, tapi rasanya tidak pahit.
“Ada lagi hal yang unik di sini,
dik”, Pak Wayan melanjutkan.
“Di ujung selatan sana ada tempat
namanya Karang Memadu, itu tempat khusus untuk yang berpoligami” jelasnya.
Seorang bapak yang duduk di depan angkul-angkul |
Bagi yang memilih jalur poligami
maka mereka diberi tempat khusus di tempat tersebut. Mereka tidak boleh tinggal
bersama keluarga lainnya di rumah yang biasa. Dengan kata lain mereka
dikucilkan. Ditambah lagi dalam upacara keagamaan mereka juga dilarang untuk turut serta. Karena peraturan ini pula, maka tidak ada yang berpoligami.
Hari sudah lepas siang, matahari mulai
tergelincir. Saya hendak pulang, begitupun Pak Wayan. Saya mengucap pamit dan
berkata “Saya pulang dulu Pak, sepertinya saya mengganggu bapak yang ingin ke
tempat Karang Memadu”.
Seketika tawa renyah keluar dari
bibir Pak Wayan yang kemudian menjadi tanda perpisahan kami.
jadi pengen ke BAli... selama ini cuma lewat ajah
BalasHapuslewatnya yg lama om Danan,hehe
Hapuswaktu itu cutinya sudah habbis.. nanti deh lain kali
BalasHapussippp,,kutunggu di Bali om Danan :D
HapusKak Wisnu, ada homestay yang bisa ditempatikah di desa ini?
BalasHapusada kak badai, sebagian rumah2 dsini jd homestay jg,ratenya dr 100-400rb klo g salah :)
Hapus