Perahu mulai mengurangi
kecepatannya saat memasuki wilayah teluk yang tenang. Lalu dengan pelan-pelan
menepi ke dermaga yang berbentuk seperti jembatan kayu. Disangga balok-balok
kayu yang cukup besar membuatnya terlihat kokoh untuk menyandarkan perahu-perahu
yang singgah. Siang itu kebetulan tak banyak perahu yang bersandar. Di pangkal
dermaga ada sebuah bangunan yang juga merupakan pintu gerbang memasuki wilayah
ini, di atasnya terdapat papan bertuliskan nama tempat ini, Loh Buaya.
“Welcome to Loh Buaya”, sapa
seorang ranger yang menyambut kami. Dia menyapa dalam Bahasa Inggris karena
memang rombongan saya yang berjumlah 5 orang 3 diantaranya adalah warga negara
asing.
“Loh means bay and buaya means
crocodile” lanjutnya menjelaskan. Dahulu orang Flores tidak mengenal nama
komodo, mereka menganggap repitilia besar ini sama saja dengan buaya. Loh Buaya
adalah pintu gerbang untuk memasuki Pulau Rinca.
Ranger yang bernama Reno ini
memiliki perawakan yang tak terlalu besar. Usianya mungkin sekitar 30 tahunan.
Dia berasal dari daratan Flores tapi sekilas mukanya mirip orang Jawa bahkan
ada sedikit kemiripan dengan artis Ramon Y Tungka, versi timur. Kulitnya yang
gelap memberitahu bahwa di sini tak hanya komodo saja yang ganas tapi matahari
pun tak segan untuk menyengat. Gaya bicaranya ramah dan informatif apalagi
dengan kemampuan berbahasa Inggrisnya yang bagus membuat saya merasa perjalanan
kali ini akan sarat dengan pengetahuan. Meskipun saya sendiri kurang terlalu
menguasai bahasa asing itu.
***
Tulisan ini dimuat di Majalah The Travelist Edisi 8. Cerita selengkapnya bisa dibaca dengan mengunduh majalah tersebut di sini.
***
Tulisan ini dimuat di Majalah The Travelist Edisi 8. Cerita selengkapnya bisa dibaca dengan mengunduh majalah tersebut di sini.
ahaa....belum pernah ke Pulau Rinca sepertinya perlu dibikin acra ke sana neh...
BalasHapusmaen lah kesana mas hehe :)
Hapus