Bukit Nilo dari kejauhan |
Maumere
adalah ibukota Kabupaten Sikka di Pulau Flores. Letaknya ada di antara
Kabupaten Ende dengan Kabupaten Flores Timur. Kebalikan dengan Kota Ende yang
terletak di pesisir selatan Flores, Kota Maumere letaknya ada di bagian sisi
utara Pulau Flores. Bagian pantai utara inilah yang pernah terkena bencana
tsunami awal 90an.
Selain
didominasi kawasan pantai, sama seperti wilayah Flores lainnya Maumere juga
memiliki banyak bukit dan gunung. Salah satu bukit yang cukup terkenal adalah
Bukit Nilo. Hal yang membuat bukit ini menarik adalah adanya patung Yesus dan
Bunda Maria di puncaknya. Daratan Flores memang mayoritas penduduknya beragama
Katolik sehingga monumen keagamaan seperti ini tidak jarang ditemui di tempat
lainnya.
Siang
tak terlalu panas, sebagian besar langit ditutupi awan kelabu tipis. Setelah
menyisir sebagian wilayah pantai di Maumere, saya bersama partner saya
mengarahkan sepeda motor menuju Bukit Nilo.
Sebenarnya
partner saya sudah pernah ke sana akan tetapi dia lupa jalannya sehingga
ketika bertemu percabangan pertama setelah dari kota kami sudah langsung
bertanya kepada penduduk setempat. Pemuda yang kami tanyai menunjukkan jalan
belok ke kanan, alih-alih untuk mengikuti jalan utama yang mengarah lurus.
Karena saya buta arah sedangkan partner saya lupa arah, kami percaya saja.
Hanya sekitar satu atau dua kilometer jalan utama yang kami lalui ini buntu
sedangkan jalan percabangan -yang letaknya tidak jauh dari jalan buntu- putus karena ada turunan curam yang tak diaspal. Kami
bertanya lagi kepada seorang tante yang ada di dekat jalan yang putus itu, dia
membenarkan ini jalan untuk menuju Bukit Nilo. Kami terus melaju.
Jalan
yang kami lewati selanjutnya adalah jalan kecil, sepi dan aspalnya sudah rusak.
Kami sempat bertanya arah lagi kepada sebuah keluarga yang sedang menggarap
ladang untuk ditanami kacang. Setelah menunjukkan arah mana yang harus kami
pilih, salah satu tante meminta partner saya untuk menggenggam biji kacang yang
hendak ditanam, “biar tumbuh subur” katanya.
Perjalanan
semakin buruk karena rumah-rumah penduduk sudah tidak ditemui dan jalan semakin
rusak. Kami ragu apakah ini jalan yang benar, akan tetapi sayang juga jika
harus kembali ke Maumere karena jalan yang kami lalui sudah terlampau jauh,
apalagi Bukit Nilo sudah semakin terlihat dalam pandangan. Penderitaan kami bertambah dengan kondisi motor pinjaman yang kurang bagus. Shock breaker ban depan sangat keras, sehingga ketika ada jalan
berlubang hentakannya begitu terasa dan bunyinya bikin was-was, bisa-bisa
terjadi kejadian buruk di jalan yang sepi ini. Semoga hal itu tidak terjadi, doa yang terus terucap di dada saya.
Patung Yesus |
Setelah
hampir putus asa karena tak kunjung menemui jalan terang, justru saat itu
kami bertemu dengan jalan bagus. Ternyata ada jalur lain yang jalannya relatif
lebih bagus dan lebih lebar dari jalan yang kami lalui tadi. Ternyata jalan
yang kami pilih tadi adalah jalan alternatif, memang jaraknya lebih dekat untuk
sampai Bukit Nilo dari Maumere akan tetapi setiap alternatif selalu mengadung resiko, dan
resikonya adalah kualitas jalannya buruk ditambah tingkat sepinya sangat
tinggi.
Di
puncak Nilo ada sebuah desa, tak begitu padat, rumah-rumahnya pun sangat
sederhana. Ada dua patung di dua ujung
bukit. Di ujung satu ada patung Yesus yang disalib dan di ujung satunya ada
patung Bunda Maria yang bentuknya sangat besar. Di sepanjang jalan antara dua
patung ini ada banyak patung kecil yang bisa dibilang sebagai diorama peristiwa
perjalanan hidup Yesus.
Setelah
mengunjungi patung Yesus yang disalib, kami mengarahkan motor ke ujung
sebaliknya. Di tempat ini Patung Bunda Maria berwarna putih berdiri tegar
mengahadap kota Maumere dengan posisi tangan yang terbuka seperti hendak menebarkan
kasihnya kepada seluruh warga. Sayangnya sebelum sampai ke patung tersebut,
hujan deras mengguyur. Kami berteduh di satu-satunya kios yang ada di sana.
Kios ini menjual peralatan beribadah serta aksesoris lainnya. Di tempat ini
pula pengunjung mengisikan namanya pada buku tamu. Hanya ada satu tante dan
selanjutnya datang seorang Bruder yang menjaga kios ini. Tak ada pengunjung
lain selain kami, suasananya begitu sepi kecuali air hujan yang begitu ramai
mengguyur.
Satu
jam kemudian hujan baru mereda, kami hanya sebentar saja melihat-lihat sekitar patung. Dari sini kota Maumere terlihat kelabu karena mendung dan kabut
masih menyelimuti. Garis pantai dan lautan juga terlihat buram. Waktu sudah hampir jam 3 sore dan kami belum sempat makan
siang jadi secepatnya kami hendak meninggalkan Bukit Nilo. Sialnya kami harus
menunda lagi memberi asupan makanan pada perut kami karena ban belakang motor kami bocor. Di puncak bukit
yang letaknya di pelosok ini kami mengharapkan mukjizat agar ada tambal ban di
sekitar sini. Sayangnya mukjizat itu tidak datang.
“Tambal
ban terdekat ada di bawah, jauh. Kalau mau jalan dan dorong motor bisa 2 jam
lebih” kata seorang tante yang seketika membuat kami lumpuh layu. Perut kami kosong dan harus menguras sisa energi untuk berjalan dan mendorong motor selama 2 jam. Sungguh akan menjadi hari yang sangat melelahkan.
“Begini
saja, minta bantuan Oom di rumah sebelah buat melepas ban nya lalu minta dia
antar ke bawah untuk menambal bannya. Dia punya peralatannya.” lanjut tante
tadi sambil menunjuk rumah om yang dia maksud. Ternyata Tuhan masih memberikan
pilihan bantuan.
Kami
mendatangi rumah yang dimaksud. Sebenarnya kami tidak enak hati karena Oom itu
ternyata sedang tidur siang, tapi bagaimana lagi kami juga sedang dilanda kesusahan.
Setelah menceritakan maksud kami, Oom tersebut dengan ikhlas bersedia membantu
kami. Semoga Tuhan memberikan rezeki berlimpah untuknya dan keluarganya.
Namanya
Lorenz. Dari paras mukanya mungkin usianya sekitar pertengahan tiga puluhan.
Saya memanggilnya Oom, karena biasanya di Flores memanggil orang yang lebih tua
dengan Om itu sudah biasa. Badannya kecil, rambutnya ikal dan dipotong pendek.
Anaknya dua orang dan masih kecil. Gaya bicaranya halus dan ramah dan saya
seratus persen yakin dia adalah orang yang sangat baik.
Peralatan
standar bengkel dia keluarkan. Motor tetap berada di jalan karena di halaman
rumah Om Lorenz tak dilapisi dengan semen sehingga motor akan lebih stabil
berdiri jika tetap di atas aspal jalan. Akan tetapi hujan kembali mengguyur
saat kami hendak mencopot ban motor. Saya pikir Om Lorenz hendak menunda pekerjaan ini akan tetapi dia mengambil payung untuk menghindari air hujan. Saya
hanya bisa memegangi payungnya dan sesekali hanya ikut membantu memegang ban
atau memilih kunci yang pas. Ah begitu tak bergunanya saya.
Setelah
ban dilepas kami harus membawanya ke tambal ban paling dekat. Om Lorenz
mengeluarkan sepeda motornya dan saya membonceng di belakangnya. Jalan yang
diambil berbeda dengan jalan yang kami lalui saat berangkat, karena jalan kali
ini memang jalan utama. Ternyata kualitasnya memang jauh lebih baik. Om Lorenz
begitu terbiasa melewati jalan ini bahkan dia bisa hafal dimana ada lubang, sehingga dengan waktu yang tak terlalu lama
kami sudah sampai di tukang tambal ban di jalan raya yang merupakan jalan
menuju Ende dari Maumere.
Proses
menambal ban tak begitu lama, dalam waktu yang singkat saya dan Oom Lorenz sudah kembali ke rumahnya untuk memasang kembali ban motor. Oom Lorenz meskipun gaya bicaranya
kalem dan lemah lembut ternyata kerjanya begitu cekatan, proses memasang ban
hanya butuh waktu sedikit saja. Setelah selesai, saya diajak masuk ke rumah
untuk berbincang-bincang. Segelas teh hangat dan sepiring kacang dihidangkan oleh
istrinya kepada saya dan partner saya. Tak ada kebaikan yang lebih lagi yang bisa
kami harapkan dari ini. Kami mungkin tidak memiliki pengalaman spiritual
seperti layaknya warga Nasrani yang mendatangi bukit Nilo, tapi kami merasakan
pengalaman kebaikan nyata dari sebuah keluarga di Desa Nilo, itulah keluarga Om
Lorenz.