Awal Februari musim
angin barat masih bertiup kencang di wilayah Nusantara tak terkecuali Riung,
sebuah kecamatan di pesisir utara Kabupaten Ngada, Flores. Kabupaten Ngada tak
begitu dikenal di masyarakat negara ini, kecuali beberapa bulan lalu saat
bupatinya memblokir bandara sehingga salah satu pesawat tak jadi mendarat.
Angin barat membuat gelombang bergejolak, awan hitam sering berarak, suatu
keberuntungan jika mendapatkan hari dengan cuaca cerah pada bulan-bulan seperti
itu. Kami mengharapkan keberuntungan itu.
Kemarin
ketika saya bersama partner saya baru datang ke Riung cuaca sangat cerah,
langit begitu biru akan tetapi angin berhembus sangat kencang dan gelombang
bergejolak. Kami memiliki harapan lebih untuk keesokan hari ketika kami akan
berlayar mengarungi beberapa pulau di Riung, meski itu bisa dibilang anomali
jika cuaca cerah, angin sepoi dan gelombang yang landai. Pagi ini saat kami
hendak melakukan perjalanan itu, harapan kami menunjukkan perwujudannya, benar-benar
sebuah anomali.
Taman
Nasional Riung dan 17 Pulau masih cukup asing bagi kebanyakan orang. Di antara
mereka yang pernah mendengar pun mungkin banyak yang tidak begitu tahu bahwa
jumlah pulau yang ada sebenarnya lebih dari 17 pulau. Angka 17 digunakan untuk
semacam pengingat atau bahkan penghargaan terhadap tanggal kemerdekaan
Indonesia. Konon sejatinya ada 24 pulau yang tersebar di wilayah ini.
Jam
8 pagi kami mulai meninggalkan dermaga menuju lautan. Sebuah kapal yang tak
begitu besar, bisa dibilang kecil malah, kami gunakan untuk menyambangi
beberapa pulau. Ada 5 penumpang dalam kapal kecil ini. Selain saya dan partner
saya penumpang lainnya adalah seorang bule yang sudah cukup tua dan dia berkeliling
Indonesia sendirian. Namanya Carlos, asalnya dari Swiss, dengan jenggotnya yang
lebat beberapa orang setempat memanggilnya Surya Paloh. Dia hanya senyum-senyum
saja entah dia tahu atau tidak siapa orang yang dimaksud itu. Dua penumpang
lainnya adalah awak kapal, satu bernama Adam keturunan Suku Bajo, satu lagi
saya lupa namanya yang jelas keturunan dari Suku Bugis. Kawasan pesisir memang
sering kali kita jumpai keberadaan kedua suku pelaut tersebut.
|
Kelelawar yang bergantungan di pohon |
Pulau
pertama yang dikunjungi adalah Pulau Kalong atau Kelelawar. Sudah bisa ditebak
mengapa pulau ini dinamakan demikian. Ya, ada banyak sekali kelelawar yang
bergantungan di pepohanan. Ini adalah pagi beranjak siang, artinya ini adalah
jam tidur bagi mereka. Akan tetapi salah satu crew dari kapal lainnya
membangunkan mereka dengan suara seperti auman, tak hanya satu atau dua
kelelawar yang terbangun, tapi mungkin ribuan. Mereka berhamburan terbang di
birunya langit. Seharusnya kami meminta maaf telah mengganggu tidur mereka.
|
Carlos menatap kelelawar yang terbang |
Sebenarnya
ada hal menarik lainnya di pulau ini. Menurut Adam di sini ada binatang yang
sangat mirip dengan komodo. Bedanya ukurannya lebih kecil dan corak badannya
lebih berwarna. Kemarin saat kami berjalan-jalan di kawasan daratan Riung
memang ada sebuah patung komodo, pertama saya pikir orang Riung juga bangga
dengan komodo yang ada di kawasan Pulau Komodo, ternyata bukan begitu. Riung
juga memiliki komodo mereka sendiri. Kami tidak turun di pulau kelelawar, dan
sayangnya dari pinggiran pulau kami tidak melihat komodo yang dimaksud
tersebut.
Tujuan
selanjutnya adalah Pulau Rutong. Sebelum sampai ke sana, kami akan melakukan
snorkeling. Tapi gelombang perlahan-lahan mulai berubah menjadi lebih besar.
Kapal mulai bergoyang mengikuti alunan gelombang. Apalagi saat kapal berhenti
di spot yang hendak kami ceburi untuk bersnorkeling. Di saat kapal berhenti itu
goyangan kapal benar-benar mengikuti gelombang, terombang-ambing. Saya pusing,
pun demikian dengan partner saya, sedang Carlos malah tertawa melihat kami.
Sebenarnya
pemandangan bawah laut di spot ini cukup bagus. Coral warna-warni berjajar
rapat dan terlihat sehat. Hanya saja di bulan-bulan seperti ini visibility nya
memang tidak terlalu bagus, dan sekali lagi gelombangnya begitu tinggi. Karena
sudah pusing sebelum nyebur, setelah di permukaan air, kami mendapat tambahan
rasa lain lagi, mual. Mabuk laut mungkin sebentar lagi menyapa saya, tapi tidak
demikian dengan partner saya, ternyata dia sudah berkenalan lebih dahulu dengan
mabuk laut itu, beberapa kali bahkan dia menyapanya dengan muntah. Sarapan pagi
ini sudah terbuang keluar.
|
Pulau Rutong dari atas bukit |
Tidak
terlalu lama kami snorkeling, mual dan pusing telah menguasai kami berdua.
Sedang Carlos sebenarnya masih menikmati snorkelingnya. Suara terbanyak yang
menang, kami langsung menuju ke Pulau Rutong. Pulau ini sangat indah, pasir
putihnya sangat lembut dan bentuknya landai sampai ke tengah laut. Airnya
bening dan ombaknya pelan, cocok untuk berlari-lari bermain air. Ada sebuah
bukit di tengah pulau yang bisa didaki. Dari atas kita bisa melihat lautan
lepas dengan warna air bergradasi berdasarkan kedalamannya. Di kejauhan Pulau
Flores dengan bukit-bukitnya terlihat begitu gagah. Indah sekali.
|
Nampang di blog sendiri |
|
Pemandangan dari Pulau Rutong |
Siang
sudah menjelang, Adam dan temannya membakar 2 ikan yang sudah dibawa dari
pelabuhan. Ukurannya lumayan besar, cukup untuk menjadi lauk bagi kami berlima.
Selain ikan tersebut, Adam juga sudah membawa bekal nasi, mie goreng, sayuran
dan krupuk. Makan siang yang sangat nikmat di bawah pepohonan di Pulau Rutong.
Di
sela-sela makan Adam memutar lagu-lagu lama dari handphonenya. Jujur saya tidak
tahu lagu itu dan siapa penyanyinya.
“Inka
Christie” tiba-tiba Carlos nyeletuk sambil bergumam mendendangkan lagu
mengikuti suara dari handphone.
|
Makan siang kami |
Ohh
ternyata orang barat ini lebih tahu daripada saya. Dia lalu bercerita banyak
band Indonesia yang dia suka, salah satunya Boomerang. Coba kalau Adam tidak
memutar lagu yang sudah lama sekali, coba dia memutar lagu Boomerang, pasti
saya juga tahu, Carlos.
Setelah
siang tergelincir kami melanjutkan pengarungan lagi. Tujuan kami berikutnya
adalah Pulau Tiga. Sama seperti tadi, sebelum sampai pulau kami akan bersnorkeling
ria lagi. Bedanya sekarang kami dilepas di tengah laut lalu akan bersnorkeling
sampai daratan Pulau Tiga. Kapal akan membuntuti kami dan siap siaga apabila
kami tidak kuat sampai pulau. Di spot ini, terumbu karang tidak sepadat spot
sebelumnya.
|
Pulau Tiga |
Sayangnya
keadaan Pulau Tiga agak kotor dengan sampah sisa makanan pengunjung.
Menyebalkan sekali melihat pulau yang indah dan tak berpenghuni malah dikotori
oleh pengunjungnya yang hanya beberapa jam saja singgah. Ironis sekali.
|
Sampah di Pulau Tiga |
Jam 3 lebih cuaca yang awalnya cerah kembali menjadi seharusnya di
bulan angin barat. Langit tiba-tiba saja berwarna gelap. Kami memutuskan untuk
kembali ke Riung setelah puas bersnorkeling. Gelombang landai sudah menjadi
angan-angan, yang terjadi adalah gelombang yang sangat tinggi. Kapal
terombang-ambing ke kanan dan ke kiri. Saya dan partner saya cemas dan juga
mual. 2 awak kapal terlihat tenang-tenang saja, sedangkan Carlos malah
menertawai kami. Parahnya dia mengambil kameranya dan mengabadikan ekspresi
cemas dari wajah kami. Saya berharap kapal segera sampai ke dermaga dan Carlos
tak mendapat foto yang banyak dari kami. Saya bersyukur harapan saya terwujud.