Kantor Bupati Sikka |
Perjalanan
ini harus dimulai lagi meski perut belum sempat diisi oleh nasi. Jam 7 pagi bus
sudah menjemput kami di tempat menginap. Kebetulan jalan di depan penginapan
memang menjadi jalur bus yang akan kami tumpangi. Tadi malam kami sudah bilang
ke pegawai penginapan untuk memesankan angkutan. Bus ini berangkat dari Maumere
menuju Mbay, ibukota Nagekeo. Ya, kami hendak menuju Mbay.
Tujuan
utama kami sebenarnya adalah Riung (baca : Arung Riung). Dari Maumere untuk bisa sampai ke sana
adalah lewat Mbay. Untuk sampai Mbay ada dua pilihan, lewat jalur selatan
melalui kota Ende atau langsung ke Mbay melalui jalur pesisir utara Pulau
Flores. Kami memilih pilihan yang kedua.
Untungnya
tadi malam kami sempat membeli gorengan dan tak sempat menghabiskannya.
Beberapa potong masih tersisa untuk sekedar menjadi pengganjal perut yang masih
kosong. Sungguh tidak enak apabila perut kosong dan harus berada dalam bus
dalam waktu yang lama. Lagi pula memang sebaiknya lambung kami diisi lebih
dahulu, karena kami hendak minum dimen, sejenis obat anti mabuk. Kami memang
memiliki penyakit gampang mabuk jika berada dalam kendaraan yang melewati jalan
yang berkelok-kelok. Walaupun sejujurnya kami tidak tahu bagaimana jalanan yang
akan dilalui.
Setelah
meninggalkan penginapan kami yang letaknya di dekat kantor Bupati Sikka
(Maumere adalah ibu kota Kabupaten Sikka), bus melewati jalan yang bagus di
pesisir pantai Maumere. Bus yang kami tumpangi bukanlah bus besar seperti bus
antar kota di Jawa. Bus ini ukurannya tanggung, seperti ukuran bus kota kalau
di Yogyakarta. Penumpang tidak terlalu banyak, masih ada beberapa kursi yang
masih kosong. Namun meski kursi tidak semua diisi oleh penumpang, tetap saja
bus ini terlihat penuh karena bawaan penumpang cukup banyak, seperti kardus
bahkan ada karung.
Tak
terlalu lama setelah lepas dari Kota Maumere, bus benar-benar melewati
pinggiran pantai sementara di sisi sebaliknya adalah perbukitan hijau.
Pemandangan yang indah sekali. Pantai pasir putih berbentuk teluk dengan ombak
sangat kecil yang sangat sepi, dan pemandangan ini tak hanya sekali atau dua
kali tapi banyak sekali kami melewati pantai seperti itu. Jalanan mulai
berkelok mengikuti bentuk pantai yang melengkung dan karena tiap pantai
dipisahkan oleh bukit maka jalanan juga naik turun. Saat itu pula seorang ibu
yang duduk di belakang kami mulai terserang penyakit mabuk. Sebelum kami
tertular, dimen yang kami minum tadi mulai menunjukkan reaksinya. Asal tahu
saja, dimen ini menurut saya efek telernya lebih hebat daripada antimo. Jadi
meskipun pemandangan yang terhampar begitu bagus, kantuk tetap tak bisa kami
tahan. Kami terlelap.
Di
tengah tidur kami yang nyenyak kami terbangun karena bus berhenti dan penumpang
diminta untuk turun. Karena nyawa belum sepenuhnya terkumpul setelah tidur,
kami bingung, ada apa ini. Kami berdua adalah penumpang terakhir yang belum
turun selain sopir. Bahkan penumpang lain sudah berjalan meninggalkan bus. Kami
selanjutnya turun mematuhi perintah awak bus. Jalan aspal ini benar-benar
berada di tepi laut, dan ternyata jalan tepat di depan kami ambles. Jalan
terputus.
Saya
bertanya-tanya dalam hati, apa kami hanya sampai di sini saja. Apa jalan ambles
ini bisa dilalui bus. Ternyata penumpang diturunkan agar muatan bus menjadi
lebih ringan sehingga bisa melewati jalan ambles itu, tentu sopir juga
melakukan tugasnya dengan baik karena bisa melaluinya dengan lancar. Kami
bersyukur dan masuk bus lagi untuk melanjutkan perjalanan dan kembali tertidur.
Sekali
lagi kami terbangun karena bus berhenti. Kali ini bukan karena jalan rusak
karena sepanjang yang kami lihat di depan jalanan mulus-mulus saja. Kami sudah
tidak berada di pinggir laut, kiri kanan jalan adalah rumah penduduk. Ternyata
kami berhenti untuk makan pagi atau malah siang, karena saat itu pukul 10 lebih.
Di daerah entah apa namanya saya lupa, yang jelas sudah memasuki Kabupaten
Ende, di sini kami makan di warung masakan Padang. Bayangkan di pedalaman
seperti ini ada Warung Padang, hebat sekali orang-orang Minang ini dalam
merantau. Selanjutnya beberapa kali dalam perjalanan kami di NTT, warung Padang
menyelamatkan kami dari kelaparan.
Yang
menarik dari warung ini adalah meski berada di pelosok, bangunannya pun
sebenarnya sederhana saja, akan tetapi mereka memiliki TV LED dengan layar yang
cukup lebar, saya perkirakan ukurannya 42 inch. TV yang sangat lebar untuk
wilayah pedalaman, bahkan orang kota pun jarang yang mempunyai TV dengan ukuran
seperti itu. TV itu masih dilengkapi dengan layanan TV kabel Orange TV yang
sedang ngetren di kota karena memiliki hak siar Liga Inggris. Saat kami makan,
tayangan yang diputar adalah channel
HBO dengan film box office nya.
Lengkap sudah. Ternyata pedalaman tak semuanya tertinggal seperti bayangan
saya.
Pinggiran
laut sudah bukan menjadi jalur kami selanjutnya. Karena selain memasuki daerah
pemukiman warga, jalur kami selanjutnya adalah hutan. Saya tak begitu melihat
detail suasananya karena efek dimen masih menancap di saraf, sepanjang jalan
selanjutnya hanya sesekali saja saya membuka mata. Penumpang sudah mulai banyak
turun, hanya tinggal beberapa saja yang masih berada di dalam bus, berarti
hanya sedikit pula yang tujuannya adalah Mbay.
Di
dalam tidur, saya harus sering kali dipaksa bangun karena kepala saya terbentur
besi yang menjadi pegangan di jendela.
Jalan di tengah hutan ini sangat jelek hingga membuat bus bergoyang ke
kanan-kiri, tentu saja penumpang di dalamnya juga mengikuti arah goyangan.
Hasilnya kepala saya benjol karena beberapa kali dengan keras terbentur besi.
Namanya juga orang lagi tidur, digoyang dikit saja pasti juga tidak bisa
menghindar.
Sekitar
jam 2, akhirnya kami sampai di terminal Mbay. Angkutan ke Riung sudah tidak
ada, jadi kami menginap semalam di kota ini. Mari kita menikmati suguhan kota
Mbay yang sangat sepi.
*Perjalanan ini dilakukan pada 4 Februari 2014
*Perjalanan ini dilakukan pada 4 Februari 2014