Dulu,
setiap pagi setelah sholat subuh di bulan ramadhan, suara ledakan mercon selalu
terdengar di daerah rumahku. Aku tak tahu di tempat lain, tapi aku rasa di
daerah Bantul atau Jogja hal itu adalah suatu hal yang jamak terjadi. Lambat
laun seiring bertambah umurku, aku semakin jarang mendengar ledakan mercon di
bulan puasa. Konon katanya mercon sudah dilarang oleh polisi. Memang suaranya
yang terdengar keras sering membuat telinga pekak dan membuat jantung berdebar
lebih kencang, tapi sejujurnya aku merindukan suasana itu.
Mercon (sumber) |
Aku
teringat pada satu peristiwa yang sudah lama terjadi. Kira-kira dua dasawarsa
yang lalu, saat aku berada di bangku kelas 2 SD. Aku punya teman yang umurnya 3
atau 4 tahun lebih tua dariku. Kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumahku.
Kami bukanlah teman yang bisa dibilang teman akrab, perbedaan usia memang
berbicara. Bisa dibilang aku hanyalah ngintili
dia, atau bahasa sekarang aku follower
nya. Untuk anak yang masih kecil, mereka selalu ingin agar cepat-cepat menjadi
lebih tua, mengikuti orang yang lebih dewasa adalah adalah salah satu cara instan
untuk terlihat lebih dewasa, itu pula yang kulakukan.
Nama
temanku itu adalah Hadi. Menurutku dia adalah anak yang sangat kreatif. Berbagai
permainan dia kuasai dengan mahir, begitu pula dalam membuat alat mainan. Aku
ingat dia pernah membuat pedang-pedangan dari kayu. Bentuknya mirip pedang
sungguhan. Ada gagangnya, dan bentuk parangnya pun begitu persis. Aku pernah
mengambilnya diam-diam, karena begitu ingin memilikinya. Salah satu
kreatifitasnya yang lain, yang mungkin orang lain tidak menganggapnya demikian,
adalah membuat mercon.
Saat
itu ada berbagai jenis mercon yang beredar di pasaran. Yang paling terkenal
adalah mercon lombok dan mercon leo. Mercon lombok atau cabe, adalah mercon
yang ukurannya kecil seukuran cabe. Suaranya tidak terlalu nyaring dan radius
suaranya juga tak begitu luas. Seingatku waktu itu satu bungkus harganya
seribu rupiah berisi 10 buah. Sedangkan mercon leo adalah mercon dengan merk
Leo. Ukurannya lebih besar daripada mercon lombok, kira-kira sebesar ibujari
orang dewasa. Suaranya pun lebih nyaring daripada mercon lombok. Harganya
sekitar 250 rupiah per buahnya.
Banyak
anak-anak jail yang ingin mendapatkan suara ledakan yang lebih besar daripada
mercon Leo, bahkan ingi jauh lebih besar, akan tetapi untuk mencari mercon dengan
ukuran yang lebih besar dari mercon Leo gampang-gampang susah. Untuk
mengakalinya, mereka membuat mercon sendiri dengan ukuran yang lebih besar
dengan menggabungkan beberapa mercon Leo menjadi satu. Hal ini pula yang
dilakukan oleh Hadi, temanku.
Hal
pertama yang dilakukan adalah membuat pembungkus mercon. Caranya dengan
menggunakan kertas dari buku bekas. Kertas tersebut dipotong menjadi dua, lalu
disambung hingga panjang. Selanjutnya digulung pada sebuah spidol/pensil,
hingga membentuk gulungan yang cukup tebal, seperti gulungan kertas tisu.
Ketika dirasa sudah cukup, spidol tersebut ditarik dari gulungan sehingga
meninggalkan rongga di tengah gulungan. Rongga ini lah yang menjadi tempat
mesiu nantinya. Bubuk mercon atau katakanlah mesiu didapat dari mercon Leo yang dibongkar. Jumlahnya
tergantung besar mercon baru yang kita buat. Saat itu, Hadi membuat 2 mercon
rakitan beda ukuran. Kalau tidak salah satu mercon dengan isi dari 4 mercon
leo, dan satu lagi dengan isi 6 mercon leo.
Bagian
bawah mercon disumbat dengan menekan bagian bawah gulungan mercon masuk ke dalam. Setelah
satu bagian tersumbat, mesiu dimasukkan ke dalam gulungan. Sumbu mercon bisa
diambil dari mercon Leo atau membuatnya sendiri dengan kertas yang dilumuri
mesiu. Jadilah mercon rakitan.
Besoknya,
seperti pagi yang lain di bulan ramadhan, setelah sholat subuh berjamaah di
masjid kami berjalan-jalan keliling sekitar kampung. Sebenarnya setelah sholat
subuh ada siraman rohani, akan tetapi tak pernah satupun anak-anak sebaya
dengan kami ada yang mengikutinya. Bukannya sholat subuh atau siraman rohani
yang disebut dengan subuhan, lucunya kami malah menyebut jalan-jalan setelah
subuh itu dengan subuhan, istilah yang terbalik. Tak lupa 2 mercon rakitan
dengan ukuran besar yang telah dibuat kemarin menjadi bekal pagi itu.
Beberapa
rombongan anak dari kampung lain sudah melakukan tugasnya menyalakan mercon
mereka masing-masing. Ada yang suaranya begitu nyaring, tak sedikit pula yang
hanya membawa mercon lombok. Ada rasa kompetisi antar kampung, saling berlomba
mercon siapa yang paling nyaring. Di pagi seperti itu, jalanan sudah begitu
riuh dan kotor oleh tebaran potongan kertas dari mercon.
“Tunggu
saja suara dari mercon yang kami bawa pasti yang paling memekakkan telinga”,
begitu pikir kelompok kami.
Hadi
mengeluarkan mercon yang lebih besar dulu. Dia lalu meletakkannya di tengah
jalan yang beraspal. Kami sedikit demi sedikit mundur perlahan menjauhi mercon
yang hendak dinyalakan. Hadi mengeluarkan korek dan dengan cepat menyalakan
sumbu mercon lalu dengan dia lari menjauhinya. Sumbu seketika itu juga terbakar dan
menjalar masuk ke dalam mercon. Kami memerhatikannya dan tanpa aba-aba kami
semua menutup telinga.
Kami
menunggu ledakan. Tapi beberapa saat kemudian, tetap tak ada ledakan. Padahal
sumbu sudah habis terbakar. Apa gerangan yang terjadi dengan mercon jumbo ini.
“Wah
mejen mercone!!!” seru salah satu dari kami. Mejen adalah istilah di daerah kami untuk mercon yang
tak berhasil meledak. Ada beberapa faktor yang membuatnya demikian. Pertama
mungkin karena mesiu dalam keadaan lembab sehingga tak bisa terbakar. Kedua,
ukuran gulungan kertas jauh lebih besar dan tak sebanding dengan jumlah mesiu,
jadinya mesiu tak mampu menghancurkannya. Ketiga, sumbat tidak terlalu rapat,
sehingga ketika mesiu terbakar, dia tidak meledak, tapi malah terbakar seperti
kembang api air mancur. Mungkin masih ada faktor-faktor lain lagi. Karena tak
muncul tanda kembang api kami menyimpulkan kalau kegagalan ini karena kasus
pertama atau kasus kedua.
Setelah
ditunggu beberapa saat, kami memastikan bahwa mercon itu benar-benar mejen.
Hadi dengan berani mengambilnya lagi. Selanjutnya dia memberikan mercon itu ke
teman lain karena Hadi akan menyalakan satu lagi mercon rakitannya. Orang yang
menerima mandat membawa mercon mejen itu adalah Rusman. Teman yang seumuran
dengan Hadi. Ia tak membawa tas atau sejenisnya sehingga ia hanya menggenggam
mercon itu dengan tangan kirinya.
Mercon
kedua hendak dinyalakan. Sama dengan prosesi menyalakan mercon pertama tadi,
setelah memantikkan api Hadi lalu pergi menjauh.
Sumbu
mulai terbakar.
“Dhuaaarrrrr……!!!”
“Dhuaarrrr….!!!”
Ledakannya
cukup keras. Potongan kertas mercon berhamburan ke atas seperti confeti. Kami
puas dengan suaranya. Meski agak aneh kenapa ada dua suara ledakan mercon. Ahh
mungkin cuma perasaan saja, pikir saya.
“Ahhhhhh….”
ada suara erangan di sekitar kami. Semuanya saling menoleh mencari sumber suara. Ternyata
itu adalah suara Rusman.
“Tolongggg….”
erangnya lagi. Dari
tangan kirinya mengucur darah segar.
Kami
mendekatinya. Telapak tangannya robek. Selain berwarna merah karena darah, sebagian telapak tangannya
berwarna abu-abu. Mercon yang divonis mejen tadi ternyata tetap meledak.
Naasnya, Rusman membawa mercon itu dengan tangannya.
Mulutnya meringis kesakitan. Tangan kanannya memegang erat pergelangan tangan kirinya. Kami bisa merasakan betapa sakitnya hal itu. Sesekali matanya memejam, dari ujungnya muncul air yang sudah hendak menetes. Kami hanya bisa terdiam menyadari apa yang baru saja terjadi.
Buru-buru
kami mengantarnya ke bidan yang tak jauh letaknya. Memang saat itu tak banyak
dokter yang ada di sekitar rumah kami. Bidan yang sebenarnya spesialisasinya
adalah masalah ibu hamil atau anak-anak sering menghadapi kasus-kasus umum
kesehatan.
Meski
malang, untungnya luka yang diderita Rusman tak terlalu parah. Luka di telapak
tangannya memerlukan jahitan dan selanjutnya dia mendapat dampratan marah dari
orang tuanya.
Selama sisa ramadhan, Rusman tak lagi ikut acara jalan-jalan setelah subuh. Kejadian
ini menjadi pelajaran yang sangat berharga buat kami. Sayangnya hal itu tak
membuat kami jera, hanya lebih waspada. Memang dasar anak nakal.