Sumber
daya alam adalah pendukung utama dalam kehidupan makhluk hidup. Selama ini kita
selalu berkoar-koar bahwa kita adalah bangsa dengan sumber daya alam yang
melimpah ruah hingga seolah-olah dalam pikiran bawah sadar kita terasa bahwa
itu semua tak akan pernah habis. Tapi apakah benar demikian?
Secara
umum SDA (sumber daya alam) dibagi menjadi dua, terbarukan dan tidak
terbarukan. Terbarukan adalah SDA yang bisa diregenerasi lagi, atau juga yang
keberadaannya tak terbatas. Sedangkan yang tak terbarukan adalah SDA yang tidak
bisa diregenarasi lagi atau kalau bisa butuh waktu yang sangat lama. Dari dua kategori ini jika dipikir secara
sederhana seharusnya untuk memenuhi energi, penggunaan SDA terbarukan lebih
diutamakan dan terus diregenerasi keberadaannya sedangkan yang tak terbarukan
harusnya digunakan sesedikit mungkin, diirit dan dieman-eman. Kenyataannya tak seperti itu.
Kita
ambil contoh SDA tak terbarukan yang paling umum, minyak. Minyak sejatinya
adalah sumber dari berbagai macam produk. Jangan pikir minyak hanya bisa menghasilkan
minyak tanah dan bensin saja. Bahan-bahan plastik juga adalah turunan dari
minyak bumi. Eksploitasi minyak ini benar-benar banyak sekali. Penggunaanya tak
kalah banyak, malah lebih banyak. Di Jawa terutama, dari zaman generasi orang
tua kita atau mungkin dari generasi di atasnya, mereka dimanjakan dengan harga
minyak yang murah dan melimpah. Dari situ terbentuk sebuah perilaku yang
menurun ke anak cucu mereka tentang pemanfaatan minyak sebagai bahan bakar.
Mereka (kita) memanfaatkannya sebagai bahan bakar untuk memasak dan bahan bakar
kendaraan. Penggunaan sebagai bahan bakr kendaraan juga sangat dipengaruhi oleh
transportasi publik yang tidak pernah dibagun dengan memadai oleh pemerintah.
Kebiasaan untuk mengendarai kendaraan pribadi ini telah tertanam sangat dalam
di kebiasaan kita. Jadinya, banyak yang merasa malas untuk menggunakan
transportasi publik, meskipun seandainya sudah ada. Itu karena sudah terbiasa.
Lalu
apa pengaruhnya? Anggapan bahwa negara kita ini raja minyak itu sudah tidak sepenuhnya
benar, bahkan cenderung salah. Jumlah minyak yang kita produksi sudah tidak
mampu lagi memenuhi permintaan minyak dalam negeri. Lalu selanjutnya kita
mengimpor. Iya kita impor minyak. Jangan pikir kita yang dulu adalah eksportir
minyak akan tetap mempunyai predikat eksportir selamanya, sekarang kita sudah
kehilangan predikat itu. Lalu karena kita impor minyak dan tak kuasa untuk
menanggung besarnya subsidi, maka sedikit demi sedikit harganya dinaikkan.
Masyarakat kita yang sebagian besar masih tidak mampu, menghadapi kenaikan
harga BBM mereka kaget, kelabakan. Tapi apakah mereka lalu menghemat penggunaan
BBM? Jawabannya tidak.
Sekali
lagi kebiasaan kita tetap susah dihilangkan. Siapa yang membuat kebiasaan ini
berlangsung terus menerus? Saya pikir kita bisa menyalahakan kebijakan
pemerintah dari dulu, tidak hanya kebijakan yang sekarang. Moda transportasi
massal yang sangat buruk, bahkan banyak tempat malah tidak ada sama sekali
membuat kita terbiasa untuk menggunakan kendaran pribadi. Sekarang ketika
kendaraan pribadi memenuhi jalanan, mereka baru kebingungan membangun fasilitas
transportasi. Terlambat? Iya, sangat. Tapi itu tetap harus dilakukan. Mengapa?
Karena cadangan minyak kita semakin menipis. Selain itu kita butuh untuk
menciptakan kebiasaan baru, tidak menggunakan kendaraan pribadi. Menciptakan
kebiasaan baru itu sangat sulit, setidaknya butuh beberapa masa untuk sedikit
demi sedikit meninggalkan kebiasaan lama.
Itu
adalah salah satu contoh saja dalam penghamburan penggunaan minyak. Masih banyak
lagi contoh penggunaanya yang berlebihan. Dengan eksploitasi seperti ini minyak
bumi diprediksi tak lama lagi akan habis. Semuanya kebingungan bagaimana untuk
memperlama umur ketersediaannya. Berbagai sumber alternatif diupayakan tapi
tetap saja tidak terlalu memuaskan bahkan hanya memindahkan kegunaan minyak
kepada SDA tak terbarukan lain. Solusi yang kurang solutif.
Di
negara yang posisinya berada tepat di garis khatulistiwa dan dianugerahi
sebagai negara kepulauan dengan lautan yang berada di sekeliling kita dan juga berada
di jalur ring of fire, mereka ini sesungguhnya adalah SDA terbarukan yang
seharusnya kita sadari dan memanfaatkannya jauh lebih banyak daripada SDA tak
terbarukan. Sayangnya panas matahari yang tak habis sepanjang tahun, angin yang
selalu berhembus kencang dan titik panas bumi yang tersebar itu tak
dimanfaatkan dengan baik. Sayang sekali.
Kebijakan-kebijakan
ini memang membuat semuanya menjadi korban. Bumi kita tercabik oleh
pertambangan yang membabi buta, tapi kita sebagai masyarakat tak mendapatkan
nilai yang setimpal. Jadi peran apa yang bisa kita mainkan dalam kehidupan
untuk mempengaruhi penggunaan sumber daya alam dengan baik? Banyak. Kurangi
penggunaan minyak dan turunannya (plastik, dll) (baca : Bawa Botol Minummu Sendiri), gunakan transportasi umum, dan
masih banyak lagi kebiasaan bagus yang ramah lingkungan.
Sebenarnya
hidup menyatu dengan alam juga bisa menjadi solusi jitu yang bisa
diaplikasikan. Sustainable village (baca : Desa Mandiri Energi),
begitu kalau tidak salah program utama saat saya mengambil Kuliah Kerja Nyata
(KKN) saat di bangku kuliah. Desa seperti apa itu? Desa yang bisa memenuhi
kebutuhannya sendiri. Jadi begini sebuah desa memiliki berbagai macam komoditi
yang bisa memenuhi apa yang menjadi permintaan warganya. Kebutuhan listrik
didapat dari pembangkit listrik mikrohidro dari sungai mengalir. Nasi didapat
dari sawah. Hasil dari kulit bulir padi bisa dimanfaatkan sebagai media tanam
tanaman hias. Lalu pupuk untuk sawah didapat dari pupuk kompos yang berasal
dari ternak. Peternakan sapi atau kerbau sendiri bisa dimanfaatkan sebagai alat
untuk membajak sawah. Lalu kotoran ternak dan manusia bisa diolah menjadi
biogas, menjadi sumber energi untuk masak atau bahkan bisa dijadikan sumber
untuk penerangan. Itu hanya beberpa contoh saja karena masih banyak lagi sumber
yang bisa dimanfaatkan, bahkan hasil samping dari suatu produk bisa digunakan
untuk mendukung proses lain.
Sungai yang ada di dekat Desa Waerebo |
Waerebo
di Manggarai, Flores adalah salah satu desa tradisional yang masih menyatu
dengan alam. Untuk membangun rumah, sebagian besar mereka dapatkan dari memanfaatkan
sumber daya alam di sekitarnya. Saat ini mereka masih menggunakan generator
diesel untuk penerangan di malam hari. Tapi sebentar lagi mereka akan
memanfaatkan air terjun yang tak jauh letaknya untuk dijadikan sumber energi.
Di samping itu, mereka juga menjaga hutan di sekitarnya agar air sungai di
sekitarnya tetap mengalir.
Ada
juga Desa Penglipuran, Bali yang memiliki hutan bambu. Mereka memanfaatkannya
tidak dengan membabi buta. Saat membutuhkan mereka ambil seperlunya sesuai
dengan kebutuhan. Dengan begitu masih ada waktu untuk tumbuhan bambu
meregenerasi, satu ditebang satu ada yang tumbuh. Begitu terus, sehingga tetap
terjaga keberadaannya.
Itu
hanya contoh kecil saja. Saya yakin tak hanya dua desa itu saja yang mampu
bersahabat dengan alam. Yang disayangkan adalah lebih banyak desa atau wilayah
yang tak bisa mandiri, semuanya tergantung dari pasar.
Mari
buat pola pikir dan kebiasaan yang lebih bermanfaat dan memihak kepada
lingkungan. Tanamkan itu pada diri sendiri lalu menyebar ke orang-orang sekitar
kita. Jika semua orang berperilaku seperti itu maka virus kebaikan ini akan
terus menyebar. Ingat, sumber daya alam yang banyak digunakan sebagai sumber
energi kita selama ini itu tak abadi, sebentar lagi habis. Segera cari
alternatif sumber daya alam lain yang tak pernah habis dan ramah lingkungan.
Tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati World Environment Day 2014.
Tulisan lain dari teman-teman Travel Bloggers Indonesia :
Menjelajajah Negeri Orang Laut oleh @dananwahyu
Selamat Datang di Masa Depan oleh @yofangga
Tentang Cagar Alam & Etika Jalan-jalan di Alam oleh @catperku
Interview with Tiza Mafira : Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik oleh @discoveryourindo
Dilema Wisata Karimunjawa oleh @fahmianhar
Hutan Kalimantan Nasibmu Kini oleh @backpackerborneo
Apa itu Green Tourism? oleh @FeliciaLasmana
5 Dosa Para Pendaku Gunung yang Harus Dihindari oleh @wiranurmansyah
Jatuh Cinta kepada Hijau oleh @miss_almayra
Ber-Ekowisata bersama Tintin di Hutan Kota Kemayoran oleh @oli3ve
Bersihnya Situ Gunung.. oleh @ubermoon
Menjaga Etika Perjalanan, Menjaga Alam oleh @efenerr
How Environment-Friendly Are You? oleh @duabadai
Musuh Abadi, Plastik oleh @adliencoolz
Ekosistem Pesisir di Ujung Negeri oleh @lostpacker
Tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati World Environment Day 2014.
Tulisan lain dari teman-teman Travel Bloggers Indonesia :
Menjelajajah Negeri Orang Laut oleh @dananwahyu
Selamat Datang di Masa Depan oleh @yofangga
Tentang Cagar Alam & Etika Jalan-jalan di Alam oleh @catperku
Interview with Tiza Mafira : Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik oleh @discoveryourindo
Dilema Wisata Karimunjawa oleh @fahmianhar
Hutan Kalimantan Nasibmu Kini oleh @backpackerborneo
Apa itu Green Tourism? oleh @FeliciaLasmana
5 Dosa Para Pendaku Gunung yang Harus Dihindari oleh @wiranurmansyah
Jatuh Cinta kepada Hijau oleh @miss_almayra
Ber-Ekowisata bersama Tintin di Hutan Kota Kemayoran oleh @oli3ve
Bersihnya Situ Gunung.. oleh @ubermoon
Menjaga Etika Perjalanan, Menjaga Alam oleh @efenerr
How Environment-Friendly Are You? oleh @duabadai
Musuh Abadi, Plastik oleh @adliencoolz
Ekosistem Pesisir di Ujung Negeri oleh @lostpacker
berat bahasannya, tapi sangat bermutu. makin sedikit kita menggunakan energi, semoga bumi lebih terselamatkan.
BalasHapusmuter2 kak tulisannya :D
Hapusgak muter gitu kak wisnu tulisan nyaa?
HapusBetul kak...kalau perlu bensin diganti sama sebotol air putih aja..buat dorong motor :-D
BalasHapushahaha,,pengganti dahaga ya kak :p
Hapuspostingan ini bikin merenung... apa yang sudah kita perbuat untuk lingkungan kita? apa yang akan selanjutnya kita lakukan? apa jadinya bila nantinya benar-benar sumber daya energi itu habis?
BalasHapussaatnya sekarang cepat2 beralih ke sumber yg terbarukan kak,,yg paling feasible skrg adalah geothermal, ramah lingkungan dan tersedia banyak
HapusSayang, biasanya manusia merusak alam tatkala ia sudah diburu oleh materi. Misalnya saja pertanian organik vs pertanian non-organik. Kuantitas pupuk sintetis yang digunakan pada tanaman pangan untuk menggenjot kuantitas produksi jelas bakal merusak unsur hara di tanah tersebut dan lambat laun tanah tak lagi subur untuk ditanami.
BalasHapusMenurut saya ya itu, kalau kita ingin melestarikan alam, harap kita redam ambisi untuk mengejar materi. Setuju?
iya mas :)
HapusMalu rasanya karena saya pribadi belum mampu maksimal menjaga lingkungan tapi setidaknya saya sudah memulai dari hal-hal terkecil, misalnya sudah tidak membuang sampah sembarang tempat.
BalasHapusiya dari hal kecil berlanjut yg lebih besar :)
HapusMari jadikan kebiasaan :) Mulai dari hal kecil dan sebarkan!
BalasHapusayo kakkk !!!
HapusMau Dus makanan yang ramah lingkungan? Aman bersentuhan dengan makanan Anda? Coba lihat selengkapnya di sini.
BalasHapus