7 rumah kerucut di Desa Waerebo |
Lebih
dari beberapa dasawarsa mbaru niang
atau rumah tradisional berbentuk kerucut yang ada di Desa Waerebo jumlahnya
tinggal empat buah saja. Rumah yang tersisa itu pun sebenarnya sudah sekarat
kondisinya, lapuk dimakan usia. Masyarakatnya tak mampu lagi untuk membangun
kembali dan melengkapinya menjadi tujuh buah rumah sepeti seharusnya. Kurangnya
biaya menjadi alasan utama.
Tahun
2008 datanglah rombongan Yori Antar bersama rekan-rekanya. Mereka adalah para
arsitek yang penasaran dengan kampung tradisional di pedalaman Flores ini.
Hanya berdasarkan informasi dari internet dan kartu pos yang bergambar Waerebo
membuat mereka begitu tertarik lalu nekat berangkat ke sana.
“Kami
kaget dengan kedatangan rombongan turis dalam negeri. Mereka adalah wisatawan
Indonesia pertama yang datang ke Waerebo” kata Alexander Ngandus, tetua Desa
Waerebo.
Pak
Alex bercerita tentang kedatangan mereka saat itu. Warga Waerebo sedang memperbaiki
salah satu rumah kerucut bersama dengan orang-orang dari Taiwan. Hujan begitu
deras mengguyur, namun semangat mereka tidak luntur untuk terus bekerja. Pada
saat sedang sibuk-sibuknya itu muncul rombongan warga Indonesia dengan keadaan
basah kuyup.
“Sebenarnya
ada rasa jengkel saat itu. Kami sedang sibuk memperbaiki rumah tapi tiba-tiba
harus menerima tamu yang cukup banyak. Kami hanya bisa menyambut mereka dengan
seadanya saja. Hanya kain sarung yang bisa kami sediakan untuk menutupi badan
mereka yang basah kuyup” kenang Pak Alex.
Tak
disangka justru kedatangan Yori Antar dan kawan-kawan yang awalnya ‘merepotkan’
ini malah selanjutnya memberi anugerah kepada masyarakat Waerebo. Melihat
kondisi Waerebo yang sudah sekarat, Yori Antar dengan Yayasan Rumah Asuh berupaya
untuk mengembalikan keadaannya kembali sehat. Bantuan dari swasta dan pemerintah
serta beberapa donatur mulai mengalir, mereka tergerak untuk menyelamatkan
Waerebo.
Tahun
2010, dua rumah kerucut yang sudah sekarat direnovasi. Selanjutnya tahun 2011
tiga rumah kerucut yang sebelumnya hilang dibangun kembali. Akhirnya Waerebo
memiliki tujuh rumah kerucut lagi seperti sedia kala. Tahun berikutnya dua
rumah lagi direnovasi, sehingga sekarang ketujuh rumah ini dalam kondisi yang
sangat bagus.
“Sangat
sulit untuk membangun kembali mbaru niang tanpa bantuan dari luar Waerebo”
terang Blasius Monta, warga Waerebo yang menjadi guru SD Denge. Pak Blasius
sendiri sekarang tidak tinggal di Waerebo, dia tinggal di Denge, desa terakhir
sebelum ke Waerebo.
“Pada
tahun 1997 Pemda Manggarai pernah merenovasi Mbaru Tembong -rumah utama di
Waerebo- biayanya sekitar Rp 30 juta. Lalu yang kemarin ini satu rumah
membutuhkan biaya sekitar Rp 300-an juta. Kami tidak mampu kalau harus
menanggungnya sendiri” lanjutnya.
Untuk
membangun kembali ketujuh rumah tersebut, kebanyakan material memang tersedia
di sekitar desa. Akan tetapi jumlahnya tidak mencukupi lagi, sehingga ada
beberapa material yang harus di datangkan dari luar daerah. Itulah yang
menyebabkan biaya menjadi membengkak.
Pak
Blasius menceritakan sebelum kedatangan rombongan Yori Antar yang membuat
Waerebo dikenal di dalam negeri, kampung ini sudah banyak dikenal oleh kalangan
wisatawan asing. Sebelum tahun 2000-an hanya ada beberapa turis saja yang
datang. Dari situ Pak Blasius meminta foto-foto dari mereka. Selanjutnya pada
awal tahun 2000-an Pak Blasius berupaya mengenalkan kampung halamannya dengan
memasang foto-foto tersebut di beberapa hotel dan travel agen di kota Ruteng.
Dari foto-foto tersebut pada awal tahun 2002 datanglah beberapa turis asing ke
desa ini. Lambat laun menyebarlah berita tentang keindahan arsitektur dan
keramahan Waerebo ke berbagai kalangan.
Rumah
Pak Blasius disulap menjadi homestay
untuk mengakomodir kebutuhan istirahat para tamu sebelum berangkat atau sesudah
turun dari Waerebo. Homestay Wejang
Asih miliknya tersedia setidaknya 11 kamar yang bisa disinggahi untuk
mengumpulkan kekuatan sebelum berjalan sekitar 3 jam atau lebih ke Waerebo
ataupun untuk mengembalikan tenaga ketika setelah turun.
Bahasa
Inggris cukup dikuasai oleh Pak Blasius. Hal ini dirasa penting olehnya karena
memang turis asing masih mendominasi jumlah kunjungan, meskipun akhir-akhir ini
traveler dalam negeri mulai mengimbangi. Selain Pak Blasius penduduk Waerebo
juga sudah bisa mengucapkan beberapa kata umum dalam Bahasa Inggris. Beberapa
kali ada bimbingan bahasa asing untuk warga Waerebo oleh mahasiswa sekolah
bahasa dari Ruteng.
Waerebo
terus berbenah dalam menerima tamu. Untuk menata administrasi pariwisata mereka
membentuk Lembaga Pariwisata Waerebo (LPW). Dari lembaga ini ditentukan tarif
untuk bermalam di Waerebo sebesar Rp 250 ribu sudah termasuk 3 kali makan. Jika
tidak menginap pengunjung membayar retribusi Rp 100 ribu. Sebagian orang menganggapnya
terlalu mahal untuk membayar sebesar itu. Tapi saya rasa uang sebesar itu cukup
wajar mengingat bahan makanan yang kita makan saat di sana harus diambil dari
desa di bawah yang jaraknya sekitar 9 km lebih. Mereka harus memikul beras dan
kebutuhan pokok lain mendaki gunung untuk sampai kembali di Waerebo.
Meski
pariwisata terus menggeliat di sini, warga Waerebo tidak lantas berpangku
tangan dari para wisatwan, mereka tetap bekerja di bidangnya seperti
sebelumnya. Mereka memiliki kebun kopi yang hasilnya dijual ke desa di bawah
dan selanjutnya ke para pengepul kopi. Ibu-ibu juga tetap menenun kain songke
yang untuk dipakai pribadi atau dijual. Semuanya berjalan seperti biasa.
Saat
ini tiap malam sampai sekitar jam 22.00 WITA ada generator yang bekerja untuk
menyalakan lampu. Sudah beberapa tahun hal ini berjalan. Hasil dari kunjungan
wisatawan itu salah satunya untuk memberi minum solar kepada generator. Belum
lama ini juga ada kelompok dari Bandung yang akan membangun PLTA untuk
menggantikan generator solar. Mereka hendak memanfaatkan sumber air yang
melimpah di sekitar Waerebo. Rencananya proyek ini akan dimulai tahun ini. Meskipun
listrik sudah masuk ke sini, untuk menjaga keaslian rumah dan budaya mereka
televisi masih dilarang keberadaannya.
"Tiap kali ada tamu yang datang ke sini selalu bilang kepada kami untuk menjaga adat yang kami miliki. Tanpa ada himbauan dari mereka pun kami akan tetap menjaga tradisi leluhur kami" Pak Alex menyudahi percakapan kami di salah satu Mbaru Niang tempat tinggalnya.
Seorang ibu yang pulang dari mencari kayu bakar
Tulisan lain tentang cara ke Desa Waerebo >> Jalan ke Waerebo
|
kak wisnuu,
BalasHapusmy wishlist place ini. semoga menyusul ahh..
semoga bisa cepet kesini kak indri :)
Hapusmas wisnu, kasih in list biaya nya dong dari transport, makan dll nya :o
Hapusada di sini mas >> http://www.tanpakendali.com/2014/02/jalan-ke-waerebo.html
Hapustp itu nilai tahun 2014, mungkin saat ini mengalami kenaikan
nyesal gak mampir ke sini pas dulu ke Flores.. :-(
BalasHapusya ke Flores lagi laaaah :D
HapusSemoga bisa kesana dan ikut merasakan hangatnya perkampungan waerebo.
BalasHapusiya semoga terlaksana yg diinginkan :)
HapusHarus bisa ke sana tahun ini :3
BalasHapusaamin,,semoga terlaksana :)
HapusMas....acara JFC tgl 22-25 di jember
BalasHapus3besar dunia
7 mbaru niang itu bener-bener bagus banget, terlihat kokoh. Ini salah satu contoh dimana pariwisata berdampak positif terhadap pelestarian adat lokal. Ah, sayang kemarin saya gak punya cukup waktu untuk ke Waerebo. Mesti ada next trip ke Flores kayaknya.
BalasHapusbanyak tempat menarik di Flores, sangat layak untuk dikunjungi berkali2 kak Bama :)
Hapusini sangat menarik, rumahnya unik sekali..
BalasHapussemoga bisa berkunjung kesana..
terimakasih untuk informasinya.
iya saya doakan semoga bisa ke sana :)
HapusKerenn mas wisnu..seneng bisa blogwalking kesini saat cari2 info ttg wae rebo..semoga bisa kesana tahun ini! Thanks for sharing dan salam teknik kimia :)
BalasHapussaya doakan mas Indra bisa segera ke Waerebo :), amin.
HapusLho dari teknik kimia juga mas?hehe
Terima kasih sudah mampir,
salam,