Batu-batuan
adalah pencerita sejarah yang paling ulung, begitulah kira-kira para geolog
mendeskripsikan apa yang tercetak pada batu-batu yang mereka teliti. Bagi yang
bukan ahli dalam bidang teresebut atau katakanlah orang awam, mungkin kalimat
itu terasa aneh. Bagaimana mungkin benda mati bisa menceritakan sejarah?
Ternyata batuan itu adalah lukisan alam, dari sana para ahli itu bisa membaca
apa yang terjadi di masa lampau.
Dari
pergerakan bumi dan segala aktivitasnya, salah satu hal yang terbentuk adalah
gua. Gua adalah lubang pada batuan besar, bisa di gunung, di tebing, atau
sejenisnya. Yang menarik dari gua adalah dia juga merupakan pencerita sejarah
yang sangat hebat. Tidak hanya sejarah dari bumi sendiri tetapi sering kali di
dalam gua terdapat jejak-jejak kehidupan masa lampau. Kita tahu manusia jaman
dahulu mempergunakan gua sebagai tempat tinggal. Mereka lalu meninggalkan
peralatan mereka di sana, kadang mereka menggambar dinding-dinding gua, ada
pula sisa-sisa makanan yang tertinggal, dan bahkan tulang belulang mereka
sendiri masih ada di dalam gua.
Awal
Februari kemarin saya sempat berada di Labuan Bajo, ujung barat Pulau Flores.
Selain wisata baharinya yang memang menakjubkan ada juga gua yang bisa memaparkan
sejarah kawasan itu. Nama gua itu adalah, Gua Batu Cermin.
Saya,
berdua bersama partner saya, setelah makan siang menuju ke Gua Batu Cermin
menggunakan sepeda motor sewaan. Letak gua tersebut tidaklah jauh dari dermaga,
yang merupakan pusat keramaian Labuan Bajo, mungkin sekitar 3-4 kilometer
jaraknya.
Jalan
yang dilalui cukup bagus, hanya 100 meter sebelum kawasan gua saja jalanannya
tidak diaspal, atau mungkin lapisan aspalnya sudah rusak. Kami berhenti tepat
di depan pos retribusi, di sana ada dua petugas yang menjaga. Saya lupa berapa
jumlah uang yang harus dibayar satu pengunjung.
Setelah
memarkirkan motor, satu orang petugas mendatangi kami dan membawa dua helm
sebagai perlengkapan standar untuk masuk gua. Lucunya, dia sendiri malah tidak
memakainya. Orang yang paling berpengalaman mungkin merasa paling aman.
Selanjutnya dia memperkenalkan dirinya dan akan menjadi pemandu kami untuk
menyusuri gua. Saya lupa namanya, yang saya ingat dari paras wajahnya dia masih
berumur awal 20 tahunan.
Dari
tempat parkir, kami berjalan menuju gua dengan melewati jalan kecil dengan
tatanan paving block, seperti jalanan di taman. Di kanan kiri tumbuh rimbun
pohon bambu, bukan bambu biasa yang diameter batangnya cukup besar tapi bambu
yang kecil tapi karena sangat rimbun dan saling berhubungan antara bambu di
seberang dengan seberangnya hingga membuat cahaya agak tertutup, bahkan
berbentuk seperti lorong. Tidak heran jika paving block sebagian ditumbuhi
lumut.
“Plakkkk….”
Saya menampar betis saya. Ada nyamuk yang baru saja hinggap di sana. Beberapa
bagian tubuh sudah bentol-bentol habis digigit nyamuk. Ternyata bambu-bambu itu
juga menjadi sarang nyamuk.
Setelah
berjalan kira-kira 300 meter, barulah kami sampai di depan mulut gua. Jangan
berpikir mulut gua ini seperti gua yang hanya berlubang satu. Gua Batu Cermin
adalah kumpulan beberapa batu besar yang membentuk celah dan ruangan-ruangan di
dalamnya. Jadi sebenarnya tidak jelas di mana mulut utama guanya.
Kami
langsung ditunjukkan fosil terumbu karang yang tercetak di dinding batu. “Ribuan
tahun yang lalu tempat ini adalah dasar lautan, lalu karena proses alam batu-batu
terangkat dan sebagian menjadi fosil ini.” Sang pemandu menjelaskan. Memang
terlihat jelas bentuk dari koral yang sudah menjadi fosil tersebut.
Selanjutnya
kami melangkah di bagian celah dari dua dinding. Di sana terdapat stalagmit
yang menjulang cukup tinggi. Di bagian lain, sambil menengadah dan menunjuk, pemandu bilang,
“Itu adalah batu-batu yang runtuh karena gempa besar di Flores awal tahun
90an.” Ada beberapa batu yang terjepit di antara celah dan menggantung di atas.
Terlihat seperti hendak jatuh, akan tetapi sang pemandu masih menjamin keamanan
kami. “Aman, mas!”
Berikutnya
kami diajak menuju bagian dalam di mana cahaya matahari semakin redup. Pemandu
hanya membawa satu senter, untungnya saya membawa powerbank yang ada senternya,
sedangkan partner saya tidak membawa apa-apa. Jadi posisi selanjutnya pemandu
berjalan di depan dan saya paling belakang. Beberapa kesempatan kami harus
menunduk karena lubang yang akan dilewati begitu kecil dan pendek. Suasananya
sangat lembab, tanahnya pun sangat becek.
Kami
berada di ruangan yang sangat gelap sempurna. Tak ada cahaya sama sekali
apabila kami mematikan senter. Saya tak bisa mengira dengan tepat berapa
luasnya. Langit-langitnya juga tak begitu tinggi. Pemandu mengajak kami untuk
melihat satu titik di langit-langit, dan mengarahkan senternya pada sebuah
tonjolan kecil. “Para ahli bilang kalau ini adalah fosil penyu” katanya.
Saya
begitu, kalau bisa dibilang, terpesona dengan fosil itu. Bentuknya jelas sangat
mirip dengan penyu. Cangkangnya yang menonjol dengan pola kotak-kotak lalu
kepalanya yang lancip. Benar-benar fosil yang sangat sempurna. Di dalam ruangan
ini juga ada binatang yang hidup meski tak ada cahaya. Bentuknya seperti
laba-laba dengan warna hitam, akan tetapi badannya sangat tipis dan kakinya
panjang-panjang.
Fosil penyu |
Kami
selanjutnya keluar dan menuju ke ruangan lain. Tanah masih becek dan cahayanya
juga masih minim. Dengan menunduk dan beberapa kali juga memiringkan badan agar
bisa melewati celah yang sempit, kami sampai di ruangan yang di atasnya ada
lubang kecil untuk masuknya cahaya matahari. Dari ruangan kami berdiri, saat sinar matahari
masuk dari lubang di atas, apabila baru saja ada hujan maka akan ada genangan
di tanah yang akan memantulkan bayangan tubuh kita, seperti cermin. Maka dari
itu nama tempat ini disebut Batu Cermin. Sayangnya saat itu tak ada air yang
tergenang dan posisi matahari tidak pas pada lubang jadi cerminan tubuh saya
tak dapat tergambar dengan jelas.
Dari
tempat ini kita bisa simpulkan bahwa keindahan bawah laut Flores tak hanya ada
pada jaman sekarang saja, tapi dari masa lampau pun kekayaan itu sudah ada.
Memang benar kata para geolog itu, batuan adalah pencerita sejarah paling
ulung.
Fosil ikan |
Saya baru menyadari saat melihat-lihat foto di komputer bahwa bentuk salah satu dinding di Gua Batu Cermin ada yang mirip bentuk wajah orang . |
Trivia:Dengan cara memanfaatkan unsur radioaktif. Unsur-unsur radioaktif menjadi jam yang sangat bagus karena mereka meluruh menurut jadwal waktu yang ketat. Sebagai contoh uji karbon. Uji ini dilakukan karena organisme mengambil karbon-12 yang biasa dan karbon-14 yang radioaktif dari udara dan air. Uji ini menganggap bahwa rasio karbon (C-12 dan C-14) di udara dan air tetap sama selama ribuan tahun dan itulah yang ditelan mikroorganisme. Karbon-12 jumlahnya tetap di dalam organisme, sedangkan karbon-14 meluruh sesuai waktu dan separuhnya lenyap dalam waktu 5.730 tahun. Jadi apabila ingin menentukan umur suatu fosil bisa dengan mengukur jumlah relatif kedua karbon tersebut.
Bagaimana cara para ahli mengetahui umur suatu fosil?