|
Curug Sawer, Sukabumi |
Melepas
kepenatan setelah bekerja dan tinggal dalam ritme kehidupan Kota Jakarta banyak
caranya. Salah satunya adalah pergi berlibur. Meski di Jakarta sendiri banyak
menyediakan tempat liburan, saya memilih untuk sejenak ke luar dari gegap
gempitanya kota ini. Tak terlalu jauh, melipir ke selatan, saya sudah bisa
menghirup udara yang lebih segar. Letaknya ada di daerah Sukabumi.
Lokasi
yang saya kunjungi ini berupa air terjun, namanya Curug Sawer. Terletak hampir
sekitar 130 kilometer dari titik nol ibu kota negara, tempat ini jauh dari
riuhnya keramaian. Atau mungkin saya sedang beruntung karena saat itu sedang
sepi pengunjung. Posisinya ada di kaki Gunung Gede Pangrango. Untuk mencapai
Curug Sawer, dari Jakarta saya bersama teman-teman naik KRL Commuter Line pagi-pagi
sekali menuju Stasiun Bogor. Selanjutnya disambung dengan naik kereta Pangrango
dari Stasiun Paledang menuju Sukabumi berangkat pada pukul 7.55 WIB. Stasiun
Paledang ini letaknya tidak jauh dari Stasiun Bogor, tak lebih dari 1
kilometer.
Hampir
2 jam di atas kereta, Stasiun Cisaat menjadi pemberhentian kami selanjutnya. Stasiun yang
cukup kecil, bahkan pintu dari gerbong ekonomi 4 yang kami naiki tidak mendapatkan
peron untuk turun dari kereta. Kami harus turun pada bagian bawah tembok tempat
gudang sementara perusahaan semen.
|
Jalan setapak |
Tujuan
berikutnya adalah pangkalan angkot atau lebih tepatnya tempat mangkal angkot
yang rute trayeknya ke arah Curug Sawer, ada dua pilihan untuk menuju ke sana dari stasiun,
naik angkot juga atau jalan kaki. Kami memilih opsi yang kedua. Tempat ngetem angkot ada di dekat Polsek
Cisaat. Untuk membedakan rute angkot bisa dilihat dari warnanya. Angkot warna
merah adalah angkot yang akan membawa kami ke Kadudampit, tujuan kami. Diiringi lagu yang
mendayu-dayu yang diputar di dalam angkot, kurang dari satu jam kami sampai di
daerah Kadudampit. Dari sini kami harus berjalan sekitar 200-300m sampai ke Pos
Bumi Perkemahan Cinumpang. Perjalanan yang lebih susah baru akan dimulai dari
sini karena jalan berikutnya adalah jalur setapak yang menanjak. Sebenarnya ada
pilihan bantuan untuk mempercepat perjalanan dengan naik ojek, tetapi kami
lebih memilih untuk berjalan, lebih menantang, meski kadang harus bersusah payah mengatur nafas
yang sudah mulai termakan umur tersengal-sengal.
Di
tengah perjalanan ada beberapa warung yang menjual gorengan dan beberapa
makanan maupun minuman ringan. Kami tak menyia-nyiakan kesempatan untuk sedikit
melepas lelah. Sejatinya jarak yang ditempuh tidaklah jauh, hanya sekitar 1,4
kilometer, tapi entah karena badan yang jarang berolahraga atau ada faktor
lainnya, saya merasa berat untuk melangkah setapak demi setapak jalanan tanah
liat yang menanjak. Atau mungkin saya harus menyalahkan alas kaki saya yang
hanya bersandal jepit.
|
Pos retribusi |
Sekitar
setengah jam berjalan kami sudah sampai di tujuan utama kami, Curug Sawer. Air
terjun turun dari ketinggian sekitar 25-30 meter dengan begitu deras. Debitnya juga
cukup besar, sehingga tempias airnya terbang cukup jauh, terasa seperti rintik
hujan. Hanya ada beberapa pengunjung selain kami. Suasana yang cukup sepi, memang itulah tujuan
kami, pergi dari keramaian.
Hawa
terasa sejuk, nikmat sekali merasakannya. Menghirup udara seperti ini membuat
paru-paru terasa segar. Pohon-pohon yang masih rimbun juga menjadi faktor
pendukung yang sangat penting. Di sini memang adalah tempat sumbernya pepohonan. Seandainya
saja semua tempat di bumi ini masih banyak pepohonan pasti polusi udara bisa
jauh berkurang.
|
Curug Sawer, Sukabumi |
|
Dagangan, gorengan dan minuman di Curug Sawer |
Menikmati
kesejukan seperti ini sangat cocok dikombinasikan dengan melahap makanan
berkuah yang masih panas. Beruntung sekali ada beberapa penjual bakso. Salah
satu penjual bakso itu adalah Mang Maman. Dari raut wajahnya kira-kira umurnya
sekitar 50 tahun. “Sudah 10 tahun dik, mamang berjualan bakso di sini” kata
Mang Maman. Baksonya agak unik, karena mie yang digunakan adalah mie instan.
Jadi bukan bakso seperti pada umumnya, ini adalah mie instan yang diberi bakso.
|
Mang Maman, sang penjual bakso |
|
Mie instan plus bakso |
Menurut
Mang Maman air terjun ini dinamakan Curug Sawer karena seringkali air
tempiasnya sangat banyak dan terbang jauh sekali, seperti semprotan. “Makanya
orang Sunda nyebutnya sawer, kaya orang nyawer” dengan logat Sunda yang kental
Mang Maman menjelaskan.
Untuk
sampai ke tempat ini, mang Maman naik ojek dari rumahnya yang letaknya tak
terlalu jauh. Peralatan dagangnya ia titipkan di pos retribusi, jadi dia hanya
membawa bahan makanannya saja dari rumah. “Kalau libur begini biasanya kalau
Sabtu sepi, Minggunya yang ramai. Kalau Sabtu ramai, Minggunya yang sepi” si
mamang melanjutkan lagi ceritanya. Suasana Curug Sawer sangat ramai adalah
ketika ada rombongan yang sedang kemah, baik di Cinumpang maupun di sekitar
Situ Gunung.
Sebaiknya
jika ingin merasakan dinginnya air curug jangan sampai mendekati lingkaran
jatuhnya air. Selain alirannya jatuh dengan sangat deras, juga kedalamannya konon
sampai 10 meter. Apalagi ada pusarannya yang bisa menarik orang masuk ke dalam
dan susah untuk melepaskannya. “Pernah ada yang meninggal dik” Mang Maman
mengingatkan. Saya memang tidak berniat untuk nyebur karena tidak membawa baju
ganti. Untungnya teman-teman saya yang sudah duluan nyebur tidak mendekati
jatuhnya air, tetapi mereka bermain di aliran sungai yang berjarak aman dari
pusaran arus.
Waktu
sudah mulai menggelincir meninggalkan siang, saatnya kami beranjak untuk menuju
kembali ke ibu kota. Meskipun kami tak melihat pelangi yang biasanya muncul di
samping air terjun seperti Mang Maman bilang, Curug Sawer sudah berhasil mengembalikan
energi kami untuk menantang hari depan lagi.
|
Miniatur mobil off road ikut nampang |