Sebagian
besar dari kita, terutama orang Jakarta, pasti tahu bahwa kawasan Glodok adalah
area pusat untuk mencari peralatan elektronik atau keping DVD film-film luar. Tapi dibalik nama itu
ternyata tempat ini menyimpan lorong-lorong sejarah yang menarik untuk
ditelusuri. Satu hari sebelum hari raya Imlek, saya memiliki kesempatan itu.
Berawal
dari ketidaksengajaan membaca twit tentang Jakarta Walking Tour yang
diprakarsai oleh Jakarta Good Guide, saya tertarik untuk mencicipi bergabung dengan
salah satu acaranya. Ternyata hari Minggu tanggal 7 Februari 2016 jadwal
tournya adalah ke kawasan Glodok. Mumpung satu hari sebelum Imlek pasti feelnya
udah terasa, pikir saya. Saya akhirnya ikut acara tersebut.
Jam
9 pagi adalah jadwal dimulainya tour yang diawali dari sebuah minimarket di
kompleks Hotel Novotel Jalan Gajah Mada. Peserta tour ada 7 orang dengan
seorang guide, namanya Mas Farid. Karena ada 3 peserta berasal dari luar
negeri, maka penjelasan dilakukan menggunakan Bahasa Inggris. Meskipun perlu
waktu bagi otak saya untuk menerjemahkan setiap kata yang meluncur dari mulut
Mas Farid, tetapi penjelasan yang disampaikan cukup mudah untuk dimengerti.
Candranaya
Obyek
tour pertama adalah Candranaya. Letaknya ternyata sangat dekat dengan meeting point kami, bahkan masih satu
kompleks dengan Hotel Novotel, tepatnya kompleks Green Central City. Rumah
dengan arsitektur Tionghoa yang khas ini diapit oleh bangunan-bangunan tinggi
modern, meski begitu aura klasiknya masih jelas terpancar.
|
Mas Farid menjelaskan arti gambar di dalam Gedung Candranaya |
|
Kolam di belakang gedung |
Sebuah
kain merah bertuliskan huruf emas tionghoa bertengger di depan pintu utama,
tepat di atasnya tertempel papan bertuliskan Candranaya. Memasuki bangunan ini
terasa masuk ke dalam suasana rumah klasik seperti di film-film dari Tiongkok.
Langit-langit yang tinggi didesain agar udara tidak terasa pengap dan panas
ketika berada di dalam rumah. Beberapa lampion tergantung di atas,
tulisan-tulisan Tionghoa, tempat sembahyang dan tak ketinggalan kolam di bagian
belakang benar-benar ingin meyakinkan bahwa inilah gaya arsitektur rumah masyarakat Tionghoa.
Candranaya
dahulu merupakan kediaman Mayor Khouw Kim An, Mayor Tionghoa terakhir di
Batavia (1910-1918 dan diangkat kembali 1927-1942). Gelar mayor diberikan
pemerintah kolonial Belanda kepada pemimpin etnis Tionghoa yang bertugas mengurusi
kepentingan masyarakat Tionghoa.
Perhimpunan sosial Xin Ming Hui pada tahun
1946 menyewa bangunan ini sebagai gedung perkumpulan. Organisasi ini sendiri
bertujuan untuk membantu korban perang. Pada tahun 1965, tahun di mana warga
Tionghoa dianjurkan untuk mengubah nama Tionghoa menjadi nama-nama Indonesia,
gedung ini juga terkena dampaknya. Tempat ini selanjutnya dinamakan dengan
Candranaya yang berarti sinar rembulan.
*****
“Ada
dua versi asal-muasal nama Glodok,” Mas Farid menjelaskan ketika kami meninggalkan
Candranaya menuju obyek berikutnya.
Versi
pertama adalah dari sebuah pancuran yang ada di halaman gedung balaikota,
dimana mengalir air bersih yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari
para serdadu kompeni dan tidak ketinggalan untuk minum kuda tunggangan. Air
pancuran ini berbunyi grojok-grojok, sehingga selanjutnya dilafalkan dengan
glodok.
Versi
kedua adalah dari Bahasa Sunda, Golodog, yang artinya pintu masuk rumah. Posisi
Glodok yang berada di utara atau dekat dengan pelabuhan Sunda Kelapa membuatnya
seperti menjadi pintu masuk bagi segala manusia maupun barang. Dari kata
golodog itu selanjutnya lidah lebih enak menyebutnya Glodok.
“Dua versi tersebut sangat masuk akal,
silahkan mau percaya yang mana” lanjut Mas Farid.
Selanjutnya kami berjalan kaki menyusuri
Jalan Gajah Mada menuju kawasan Petak Sembilan. Bagian yang cukup terkenal di
daerah ini adalah Gang Pancoran. Di gang ini banyak pedagang yang menjajakan
barang layaknya di pasar tradisional. Kebetulan waktu itu adalah satu hari
menjelang imlek, banyak pedagang yang menjual pernik-pernik imlek seperti kue
keranjang, amplop angpao, sampai lampion.
|
Kue Keranjang |
|
Ikan yang dijual di Gang Pancoran |
Ada salah satu tradisi masyarakat Tionghoa
dalam merayakan imlek, yaitu samseng yang kira-kira berarti tiga binatang
kurban. Ketiga binatang ini mewakili unsur udara, darat dan air. Unsur udara
biasanya diwakili oleh bangsa unggas, lalu darat oleh babi, dan air oleh ikan.
Tidah heran jika tiga unsur tersebut mudah saya ditemukan di pasar Gang
Pancoran.
Vihara
Dharma Bhakti
Di ujung Gang Pancoran ada sebuah kelenteng
atau vihara tertua di Jakarta, namanya Vihara Dharma Bhakti atau Kim Tek Le
atau Jin De Yuan.
|
Pintu gerbang Vihara Dharma Bhakti |
“Kelenteng ini berdiri pada tahun 1650,”
terang Mas Farid meyakinkan bahwa sudah sangat tua umur tempat ini.
Istilah kelenteng hanya ada di Indonesia
dan itupun awal munculnya dari tempat ini. Dulu nama tempat ibadah ini adalah
Kwan Im Teng atau paviliun Kwan Im (Dewi Kwan Im). Karena lidah masyarakat
Indonesia susah untuk melafalkannya, lebih mudah mengucapkannya dengan
kelenteng maka sejak saat itu tempat ibadah masyarakat Tionghoa lebih dikenal
dengan istilah kelenteng.
|
Sembahyang |
|
Terlihat tiang-tiang yang menghitam bekas terbakar |
|
Bagian dalam vihara |
Vihara Dharma Bakti bisa dibilang menjadi
pusat peribadatan masyarakat Tionghoa terutama di kawasan Glodok. Menyambut
imlek, tempat ini menjadi sangat ramai.
Tidak hanya manusia, benda-benda peribadatan seperti lilin yang sangat
besar juga memenuhi ruangan. Lilin-lilin besar ini adalah sebuah nazar atau
bentuk ucapan syukur dari orang yang doanya telah dikabulkan. Layaknya api yang
menyala, doa dan harapan juga tak pernah padam. Sayangnya, pada tahun 2015,
lilin-lilin ini kemungkinan yang menyebabkan terbakarnya Vihara Dharma Bhakti.
Sisa kebakaran masih bisa terlihat jelas pada tiang-tiang pada kelenteng yang
terlihat hitam seperti arang. Sampai saat ini, tempat ini masih dalam tahap
renovasi.
*****
Kami melanjutkan berjalan menyusuri Jalan
Kemenangan di wilayah Glodok. Tujuan berikutnya adalah Gereja Santa Maria de
Fatima. Karena sedang ada misa, hanya beberapa saja dari kami yang bisa masuk
ke gereja yang dibangun pada tahun 50an itu.
|
Di depan gereja |
|
Gereja Santa Maria de Fatima |
Rintik-rintik kecil air mulai turun saat
kami berjalan menuju Kelenteng Toa Se Bio. Letaknya tidak jauh dari Gereja
Santa Maria de Fatima. Sama seperti Vihara Dharma Bhakti, kelenteng ini juga
dipenuhi dengan lampion, lilin dan arsitektur bernuansa merah. Bau dupa tercium
ketika langkah kaki memasuki kelenteng ini. Memang banyak orang yang sedang
bersembahyang di dalam ruangan kelenteng yang bisa dibilang tidak terlalu luas
sehingga terasa sangat ramai.
|
Kelenteng Toa Se Bio |
Kami tidak terlalu lama berada di Kelenteng
Toa Se Bio, selanjutnya kami berjalan melewati gang-gang kecil menuju Gang
Gloria. Banyak orang yang menyebutnya sebagai gang kuliner. Memang tidak salah
sebutan tersebut, karena banyak makanan yang dapat ditemui, bahkan beberapa
diantaranya cukup terkenal. Sebut saja Kopi Es Tak Kie, Gado-gado Direksi, mie
kangkung, dll. Tapi pastikan dulu dengan bertanya apakah makanan yang hendak
dibeli halal atau tidak, karena banyak juga makanan yang mengandung daging
babi.
|
Salah satu penjual di Gang Gloria |
|
Mie Kangkung |
Di ujung Gang Gloria, berujung pula walking
tour kali ini. Mas Farid mengakhiri tour ini dengan meminta foto bersama kami.
Tak lupa kami berterimakasih karena penjelasan yang bagus dan jelas selama tour
ini berlangsung. Peserta berpisah dan melanjutkan perjalanannya masing-masing. Saya
dan istri memilih untuk mengisi perut kami dengan menyantap mie kangkung yang
memang terasa sangat lezat untuk mengakhiri tour yang sangat menambah wawasan.
Di Glodok pernah terjadi pembantaian ribuan
warga Tionghoa saat jaman Belanda, di Glodok pula pernah terjadi huru-hara saat
masa reformasi, tapi di tempat ini pula geliat ekonomi Kota Jakarta berkembang.
Informasi tentang Jakarta Walking tour bisa dilihat di https://jakartagoodguide.wordpress.com/