Penghujung
bulan Januari yang lalu, saya akhirnya bisa mengobati rasa ingin tahu yang
terpendam sejak pertama kali menonton film musikal tadi. Dengan mengendarai
sepeda motor dari Kota Bandung, saya sampai tempat ini sekitar jam 9.30, sayang
sesi pertama kunjungan dimulai pada pukul 9.00, mau tidak mau saya harus ikut
sesi selanjutnya yang dimulai pukul 11.00. Biaya masuk cukup terjangkau, hanya
Rp 15.000,- per orang. Suasana yang sejuk dengan banyak pepohonan serta rumput
hijau membuat waktu menunggu tak terasa membosankan.
Pengunjung
mulai berdatangan bahkan cukup banyak ketika ada rombongan guru-guru sekolah
dari Jakarta yang datang. Jam 11.00 tepat, seseorang muncul dari pintu masuk
bangunan kubah yang menjadi bangunan utama dari tempat ini. Kami dipersilakan
masuk satu persatu, kemudian berdiri melingkari sebuah teleskop yang sangat
besar yang dibatasi oleh pagar besi. Kesan pertama ketika melihatnya adalah “woww
teleskop yang sangat besar”. Rasa penasaran tentang tempat ini akhirnya
terhapus.
Denny
Mandey, seorang peneliti di Bosscha, menjelaskan kepada kami seluk beluk tempat
ini. “Tempat yang kita masuki ini namanya bukan Bosscha (dibaca bos-ka, bukan
bos-sya atau bos-ca) tapi kupel, Bosscha adalah nama keseluruhan tempat
penelitian ini, Bosscha ada banyak gedung bukan
hanya gedung ini saja” kata beliau menerangkan kesalahan umum yang sering
terjadi di masyarakat.
Bangunan ini disebut kupel, bukan Bosscha |
Bapak Denny Mandey, sedang mempraktekkan menggeser arah teleskop |
Nama
Bosscha diambil dari nama penyandang dana utama atas pendirian tempat yang
merupakan satu-satunya observatorium yang dimiliki oleh Indonesia. Karel Albert
Rudolf Bosscha, seorang pengusaha pemilik kebun teh Malabar yang luasnya sangat
besar bersedia membagikan sebagian kekayaannya untuk membangun sebuah
observatorium. Untuk menghormati jasanya, namanya diabadikan sebagai nama
observatorium yang diresmikan pada tahun 1928 ini.
Di
dalam kupel, terdapat sebuah teropong besar bermerk Zeiss (dibaca cais) yang
berumur hampir 90 tahun. Meski sudah sangat tua dan bisa dibilang ketinggalan
jaman, namun teropong ini masih berfungsi sangat baik. Hanya saja untuk
membidik bintang mana yang akan dilihat, teropong harus digeser dengan kekuatan
manusia, pada saat pembuatannya dulu belum ada teknologi yang bisa menggeser
teropong secara otomatis. Tapi jangan kira teknologi di dalam kupel ini tidak
ada yang canggih, atap kubah bisa diputar secara mekanis hanya dengan memencet
tombol, begitupun lantai tempat peneliti bisa bergerak naik turun juga dengan
memencet tombol. Teknologi yang cukup mutakhir pada jaman itu.
“Membidik
bintang di atas sana menggunakan teropong sebesar ini bukan berarti bintang
yang kita lihat menjadi lebih besar, sama saja hanya terlihat titik-titik,
namun titik-titik itu memancarkan cahaya yang lebih terang, bahkan bintang yang
tidak terlihat dengan mata telanjang bisa terlihat”, terang Pak Denny.
Pada
saat mulai dibangun tahun 1923, kawasan
Lembang merupakan tempat yang sangat sepi dan jarang terdapat rumah.
Keterbatasan cahaya lampu tersebut membantu pengamatan bintang, sehingga
bintang terlihat lebih cerah. Berbeda jauh saat ini, Lembang sudah penuh dengan
cahaya bahkan cahaya lampu dari kota Bandung yang sangat tinggi intensitasnya
telah membuat pengamatan menjadi sangat susah. Cahaya bintang sudah kalah jauh.
Banyak bintang-bintang yang memiliki cahaya yang redup, dulu masih bisa diamati
namun sekarang sudah tidak terlihat.
Konon
pemerintah akan membuat observatorium lagi di daerah NTT. Di sana dianggap
sebagai area yang polusi cahayanya
masih tingkat minimum. Bosscha sudah sangat tua dan polusi cahaya di Bandung
sudah terlalu tinggi untuk pengamatan bintang. Memang seharusnya Indonesia
memiliki observatorium lagi yang lebih modern dan letaknya dapat mendukung
penelitian. Pertanyaan retoris yang selalu muncul, kapan itu akan terlaksana?
Entahlah.
Info
tentang kunjungan ke Observatorium Bosscha bisa dilihat di http://bosscha.itb.ac.id/en/visit.html