Terletak di jalan yang cukup ramai tak membuatnya dikunjungi banyak orang, bahkan seperti dilupakan. Berdasarkan buku tamu yang
ada pada meja receptionist, saya adalah
orang/rombongan ke 30 yang berkunjung pada bulan Oktober. Padahal hanya dua
ribu rupiah harga tiket untuk masuk ke gedung ini. Nilai yang sangat kecil pada
saat ini, bahkan untuk parkir di mal saja lebih mahal dari itu.
Saya tidak memahami gaya bangunan ini, mungkin perpaduan
antara Eropa dan China. Mengingat gedung ini awalnya merupakan milik Sie Kong
Liang dan didirikan pada masa pendudukan Belanda, jadi kemungkinan besar kedua
kebudayaan tersebut mempengaruhi desain arsitektur bangunan ini. Di bagian
depan, terdapat beberapa patung setengah badan tokoh-tokoh penting dalam
Kongres Pemuda 2 yang diadakan di gedung ini pada tahun 1928. Selain di bagian
luar, patung-patung tersebut juga bertengger di bagian dalam. Terdapat pula patung diorama menggambarkan aktivitas diskusi pemuda-pemuda pada saat itu.
Sebagian besar ruangan berukuran tidak terlalu besar, layaknya kamar kosan mahasiswa. Sebelum digunakan sebagai tempat dideklarasikannya Sumpah Pemuda, tempat ini disewa oleh mahasiswa yang berkuliah di sekitarnya sebagai tempat pemondokan. Beberapa dari mahasiswa tersebut nantinya akan menjadi tokoh penting bangsa ini, sebut saja Muhammad Yamin dan Amir Sjarifoedin, serta tokoh-tokoh lainnya. Di sini pula banyak dilakukan diskusi oleh pemuda-pemuda yang berhasrat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa,
Sebagian besar ruangan berukuran tidak terlalu besar, layaknya kamar kosan mahasiswa. Sebelum digunakan sebagai tempat dideklarasikannya Sumpah Pemuda, tempat ini disewa oleh mahasiswa yang berkuliah di sekitarnya sebagai tempat pemondokan. Beberapa dari mahasiswa tersebut nantinya akan menjadi tokoh penting bangsa ini, sebut saja Muhammad Yamin dan Amir Sjarifoedin, serta tokoh-tokoh lainnya. Di sini pula banyak dilakukan diskusi oleh pemuda-pemuda yang berhasrat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa,
Memasuki gedung ini seperti berjalan melalui labirin masa
perjuangan. Tiap ruangan saling terhubung satu sama lain. Dinding-dinding sesak
dengan poster berisi informasi mengenai gedung ini maupun tentang peristiwa
sumpah pemuda. Memang informasi yang terdapat pada poster-poster tersebut
sangat penting, akan tetapi saya merasa bahwa penempatannya terlalu ramai
sehingga malah membuat ruangan terlihat sesak. Selain itu, terdapat pula
beberapa komputer yang berisi informasi dengan grafis yang mudah untuk
dioperasikan.
SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIAKedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIAKetiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIADjakarta, 28 Oktober 1928
Bait ke-3 Sumpah Pemuda
Di bagian tengah gedung, terdapat ruangan yang cukup luas.
Beberapa patung berpose sedang duduk seperti mendengarkan Rudolf W. Supratman
yang sedang memainkan biola melantunkan “calon” lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Lirik lagu pada saat itu tidak sama persis dengan lirik lagu kebangsaan kita
saat ini. Salah satunya adalah jumlah stanza yang awalnya ada 3 kemudian
direduksi menjadi 1. Ada pula beberapa lirik yang diganti.
Di ruangan ini pula terdapat teks sumpah pemuda terukir di
dinding. Saya melihat tulisan tersebut lalu baru menyadari bahwa bait ke tiga
agak berbeda dengan dua bait pertama. Jika merujuk pada bait pertama dan ke
dua, maka bait ke tiga juga semestinya berbunyi “ berbahasa yang satu, Bahasa
Indonesia”. Nyatanya bait ke tiga tidak berbunyi demikian, alih-alih berbunyi
“menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”. Tentu hal ini cukup
menggelitik bagi saya, mengapa yang satu ini berbeda dari yang lainnya. Saya
mencoba mencari tahu cerita dibalik hal tersebut.
Menurut Majalah Tempo edisi 2 November 2008, pada saat
Kongres Pemuda Pemuda II, Muhammad Yamin, yang bertindak sebagai sekretaris
kongres, membisikkan kalimat kepada ketua kongres, Soegondo Djojopoespito, “Saya
punya rumusan resolusi yang elegan.” Setelah membacanya, tanpa perlu pikir
panjang, sang ketua lalu memparafnya.
Muhammad Yamin, sang ahli hukum sekaligus ahli sastra dan
sejarah tentu tidak asal-asalan dalam merangkai kalimat yang kemudian menjadi
mantra ampuh dalam mempersatukan bangsa ini. Dia paham bahwa bangsa ini
memiliki ratusan bahasa daerah dan tiap penuturnya merasa lebih nyaman
menggunakannya dalam percakapan sehari-hari dibanding menggunakan bahasa lain. Keanekaregaman
bahasa menggambarkan betapa kayanya budaya bangsa ini. Tak mau memaksakan untuk
digunakannya satu bahasa saja, Yamin menyusun bait ke tiga Sumpah Pemuda dengan
kalimat yang berbeda.
“Menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia” itu berarti
tidak serta merta meninggalkan bahasa ibu dan bercakap dengan satu bahasa saja. Dalam keseharian kita tetap diperbolehkan untuk menggunakan bahasa daerah. Namun ketika berkomunikasi dengan penduduk dari daerah lain dan dalam forum
formal atau nasional menggunakan bahasa pemersatu yaitu Bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia sejatinya belum ada pada saat dilangsungkan Kongres Pemuda II, yang
ada adalah Bahasa Melayu. Muhammad Yamin melihat bahwa Bahasa Melayu memiliki
jumlah penutur yang sangat banyak dan digunakan sebagai bahasa kebudayaan, penghubung/pergaulan,
dan alat komunikasi oleh para pedagang di nusantara. Hal tersebut sudah
mengakar sejak zaman dahulu, oleh karena itu Yamin mengusulkannya sebagai bahasa
nasional. Namun, Mohammad Tabrani dan Sanusi Pane menginginkan “Bahasa
Indonesia” sebagai bahasa nasional bukan Bahasa Melayu. Menurut Tabrani, “Bahasa
adalah salah satu jalan untuk menguatkan persatuan Indonesia dan karena itu
haruslah berikhtiar untuk memiliki satu bahasa yang lambat laun akan dapat
diberi nama Bahasa Indonesia.”
Indonesia memiliki setidaknya 700 lebih bahasa. Namun,
sayangnya kita menghadapi ancaman kepunahan terhadap bahasa tersebut. Hal ini
dikarenakan banyaknya orang yang enggan menggunakan bahasa daerah, hingga
akhirnya tidak adanya lagi penutur dari suatu bahasa. Memang di masa yang
sangat maju sekarang ini kita dituntut untuk menguasai berbagai macam bahasa
untuk berkomunikasi. Tapi melupakan bahasa daerah bukanlah pilihan yang bijak.
Bapak bangsa ini, Sukarno, setidaknya menguasai 10 bahasa, tetapi masih sering
menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya. Kita, yang mungkin menguasai
bahasa tidak sebanyak beliau, malah enggan menggunakan bahasa daerah. Jangan
sampai nasib bahasa lokal kita seperti nasib Museum Sumpah Pemuda, dilupakan di
tengah keramaian.